Sekali Lagi, Netralitas PNS Harus Tanpa Tekanan

Oleh Budi Usman*)

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Banten mencatat dugaan pelanggaran kampanye di pilkada Kota Tangerang Selatan jauh melebihi pilkada wilayah lain yang ada di Banten. Di Provinsi Banten, tiga wilayah yang menggelar pilkada pada 9 Desember 2015 mendatang, yakni Kota Tangerang Selatan, Kota Cilegon, dan Kabupaten Pandeglang.

"Dari data terakhir, sudah ada 79 laporan dugaan pelanggaran kampanye di Tangsel. Kalau di Cilegon atau Pandeglang, digabung pun, jumlahnya enggak sampai 10 laporan," kata Ketua Pelaksana Harian Bawaslu Provinsi Banten Eka Setialaksamana kepadaKompas.com, Selasa (20/10/2015) . Eka menjelaskan, dari 79 laporan dugaan pelanggaran kampanye di pilkada Tangsel, yang sudah diproses sebanyak 38 laporan.

Yang sudah ditindaklanjuti adalah laporan yang telah dikaji dan ditentukan jenis pelanggarannya. Saat ini masih sembilan laporan yang masih diproses dan lima lainnya tidak ditindaklanjuti karena tidak memiliki cukup bukti. Sementara itu 27 laporan yang baru dilimpahkan Panwaslu Pilkada Tangerang Selatan.Menurut Eka, 79 laporan itu berasal dari masing-masing pasangan calon wali kota yang maju dalam pilkada Tangsel.


Adapun berbagai permasalahan krusial dalam setiap pemilu ataupun pilkada yaitu


Pertama, validitas daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini disebabkan karena masih buruknya sistem administrasi kependudukan dimasing-masing daerah. Jika berdasar Pada PKPU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tahapan,Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pilkada, dalam menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) KPU melakukan pencocokan dan pemutakhiran data pemilih yang bersumber dari Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang kemudian disinkronkan dengan DPT pemilu terakhir (DPT Pilpres 2014). Disinilah letak peran petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) yang di tunjuk oleh KPU untuk melakukan verifikasi faktual data pemilih dengan mendatangi setiap rumah penduduk untuk melakukan pencoklikan data pemilih. Maka seharusnya jika KPU dan Jajarannya disetiap tingkatan bekerja secara profesional DPT yang di hasilkan adalah data yang valid. Sehingga tidak perlu ada lagi penambahan daftar pemilih dengan menetapkan DPTb1. Secara nomenklatur saja Daftar Pemilih Tetap, Frasa “Tetap” disini artinya tidak dapat berubah lagi, baik di tambah maupun dikurangi.


Permasalahan kedua yaitu, kelemahan regulasi. Menurut penulis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada masih menyisakan sejumlah persoalan norma. Misalnya, ada ketentuan yang lahir di luar proses pembahasan dan pembentukan perundang-undangan di DPR, salah satunya seperti mandulnya penegakan hukum karena tidak ada sanksi pidana bagi pelaku politik uang dan jual beli dukungan atau mahar partai politik.


Karena tidak ada sanksi pidana bagi politik uang dan mahar politik maka sanksi administrasinya pun tidak dapat ditegakkan, karena harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum dilakukan pembatalan. Padahal, materil sanksi pidana menjadi dasar pengadilan menjatuhkan putusan.


Implikasinya tidak dapat memberikan efek jera kepada para pelaku money politik untuk terus melakukan transaksi jual beli suara dalam pilkada, karena tidak adanya sanksi yang tegas yang mengatur terkait politik uang.


Ketiga, Setiap saat pemilu atau pilkada berlangsung, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap PNS dalam perhelatan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan akademik yang selalu muncul adalah berperan netral atau tidakkah PNS dalam pilkada? Hasil pengamatan penulis dalam beberapa kesempatan terlihat beberapa orang yang memakai atribut PNS malah dengan jelas mengikuti acara peresmian pasangan balon kepala daerah atau bahkan menghantarkan mendaftarkan ke KPUD dan juga ikut serta kampanye.


Dan memang banyak sekali temuan ataupun laporan yang diterima oleh Pengawas Pemilu (Panwaslu) terkait adanya beberapa PNS ataupun Perangkat Desa yang berpihak ke salah satu pasangan calon. Bahkan yang paling rawan mendapatkan intervensi dari atasan adalah PNS yang berstatus sebagai Guru. Biasanya para guru ini secara terstruktur dilibatkan sebagai penyelenggara ditingkat KPPS. Sehingga disinilah celah yang dapat digunakan untuk menilai sejauh mana netralitas PNS jika sudah terlibat sebagai penyelenggara.


Netralitas Pegawai Negeri Sipil merupakan pilar penting dalam kelangsungan terselenggaranya pemerintahan yang berhasil guna dan berdaya guna. Oleh karena itu, Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara agar dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata. Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Pilkada merupakan hal yang sangat esensial mengingat terdapat larangan bagi Pegawai Negeri Sipil untuk berperan aktif dalam aktivitas Pilkada.




Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mewanti-wanti potensi netralitas birokrasi dan PNS di pemerintahan daerah (Pemda) dalam gelaran pilkada serentak 9 Desember mendatang. Setiap saat pemilu atau pilkada berlangsung, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap PNS dalam perhelatan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan akademik yang selalu muncul adalah berperan netral atau tidakkah PNS dalam pilkada? Hasil pengamatan penulis dalam beberapa kesempatan terlihat beberapa orang yang memakai atribut PNS malah dengan jelas mengikuti acara peresmian pasangan balon kepala daerah atau bahkan menghantarkan mendaftarkan ke KPUD dan juga ikut serta kampanye.


Dan memang banyak sekali temuan ataupun laporan yang diterima oleh Pengawas Pemilu (Panwaslu) terkait adanya beberapa PNS yang berpihak ke salah satu pasangan calon, namun sampai saat ini belum ada tindak lanjut dari Panwaslu untuk memproses pelanggaran yang melibatkan PNS, minimal dalam bentuk teguran ataupun rekomendasi ke Menpan untuk di berikan sanksi sesuai aturan perundang-undangan. Bahkan yang paling rawan mendapatkan intervensi dari atasan adalah PNS yang berstatus sebagai Guru. Dan ini banyak terjadi dibeberapa daerah, Biasanya para guru ini secara terstruktur dengan sengaja dilibatkan sebagai penyelenggara ditingkat KPPS.


Sehingga disinilah celah yang dapat digunakan untuk melakukan kecurangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara karena KPPS yang didominasi oleh para guru tersebut telah berpihak pada salah satu pasangan calon. Tentunnya ini menjadi perhatian khusus untuk menilai sejauh mana netralitas PNS jika sudah terlibat sebagai penyelenggara.


Mengantisipasi hal tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat Edaran No B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 yang isinya menegaskan kembali bahwa seluruh ASN harus bersikap netral. Surat edaran tersebut mengingatkan kembali pada eksistensi PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Secara mudah dapat diketahui bahwa surat edaran Menpan tersebut bertujuan agar dapat terwujud ASN yang bersih dan bebas dari intervensi politik. Selain itu, PNS juga dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang merugikan atau menguntungkan satu pasangan calon selama masa kampanye dan atau mengadakan kegiatan yang mengarah terhadap keberpihakan kepada salah satu pasangan calon yang menjadi peserta pilkada baik sebelum, selama dan sesudah masa kampanye.




PNS juga dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah. Hal ini biasanya banyak terjadi didaerah dimana yang menjadi peserta dalam pilkada adalah petahana atau keluarga petahana. Meski UU Pilkada sudah mengatur adanya larangan mutasi pejabat 6 bulan sebelum dan sesudah pilkada, akan tetapi masih banyak petahana yang melanggar aturan tersebut. Biasanya mutasi dilakukan agar para pejabat, Kepala SKPD, Camat dan Lurah dapat membantu petahana ataupun keluarga petahana yang maju sebagai peserta pilkada dengan melakukan intervensi bahkan intimidasi kepada jajaran dibawahnya untuk memenangkan kelauarga petahana dalam pilkada.


Di samping itu PNS juga harus menjaga aset pemerintah untuk digunakan kampanye ataupun untuk kegiatan politik. Misalnya , Kendaraan dinas, ruang rapat, dan peralatan kantor. Beberapa temuan yang terjadi di beberapa daerah seperti misalnya, pembagian pupuk bersubsidi, bibit jagung, mesin traktor pertanian dan bantuan pemerintah lainnya dengan sengaja di bagikan kepada masyarakat tetapi disertai dengan stiker ataupun alat peraga kampanye salah satu pasangan calon.


Hal ini sudah seharusnya dilakukan penindakan oleh pihak panwaslu dan kepolisian, karena sudah masuk ranah pelanggaran administrasi pemilu ataupun pidana pemilu. Akan tetapi sampai saat ini belum ada perhatian serius dan tindakan nyata oleh Panwas Kota/Kabupaten untuk melakukan tindakan atas pelanggaran-pelanggaran yang tersebut diatas. Jika hal ini terus dibiarkan maka dikhawatirkan kualitas penyelanggaran pilkada masih jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.


Beberapa masalah yang terkait netralitas PNS dalam proses penyelenggaraan Pilkada yang disebutkan diatas memang perlu mendapatkan pengawasan dari berbagai pihak agar para PNS ini tetap berada pada fungsi dan tugasnya sebagai pelayan masyarakat tanpa harus dibebani atau ditakut-takuti oleh atasan yang mempunyai kepentingan politik tertentu. Selama PNS tersebut melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku maka segala hak dan kewajibannya akan dipenuhi oleh Negara. Semoga Netralitas PNS dalam Pilkada serentak dapat membantu proses lahirnya pemimpin daerah yang berintegritas dan mendapatkan dukungan dari partisipasi politik masyarakat.




Oleh : Budi Usman komisioner Panwaslu Kab Tangerang 2004 dan Kasubag Umum KORPRI Tangsel

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sekali Lagi, Netralitas PNS Harus Tanpa Tekanan"

Post a Comment