Idul Adha dan Kepemimpinan


Oleh: Dody Riyadi HS
Dosen Tetap STIT Ya’mal Tangerang;
Pengurus ICMI Orda Kota Tangerang

Idul Adha mengingatkan umat Islam kepada pelbagai kisah agung kemanusiaan dan ketakwaan tertinggi para nabi: kedekatan dan taubat Adam kepada Allah serta kesabaran dan keterpujian tak terhingga keluarga Ibrahim. Al-Qur’an merekam semua kisah penuh keteladanan itu, menggugah umat Islam mempelajari lalu mengamalkannya sungguh-sungguh. Ibadah haji yang dilakukan tamu Allah di Baitullah, berkurban dengan hewan terbaik, dan shalat Idul Adha merupakan momentum religius untuk menghayati iman, meningkatkan takwa, menambah pengetahuan, dan mengamalkan kebajikan (Dody Riyadi HS, 2008).

Makna Qurbaan
Penciptaan Adam adalah kisah perihal iman kepada Allah, malaikat dan para nabi. Rencana penciptaan Adam oleh Allah menimbulkan keingintahuan malaikat. Menurut makhluk yang tercipta dari cahaya itu, sudah ada manusia di bumi perusak lingkungan hidup dan penumpah darah. Adam diciptakan untuk dijadikan khalifah, pengganti makhluk pembuat konflik dengan pelbagai tindakan korup terhadap sesama umat manusia dan perusak lingkungan seperti yang diketahui malaikat (QS. 2:30). Dua bekal krusial diajarkan (ta’lim) Allah sebagai kualifikasi ideal kekhalifahan Adam untuk menjadi wakil Allah di bumi sekaligus pemimpin manusia dan pelestari lingkungan.

Allah mengingatkan Adam-Hawa, antagonis terbesar ilmu pengetahuan dan agama adalah pelbagai metode bujuk rayu iblis. Adam-Hawa melanggar ketetapan Allah untuk tidak mendekati pohon terlarang. Iman yang goyah karena bisikan licik iblis membuat keduanya aniaya terhadap diri sendiri sekaligus jauh dari Allah dan menggelincirkan keduanya dari surga (QS. 2:35-36). Intelektualitas tanpa spiritualitas atau ketaatan kepada Allah tak lantas membuat manusia lebih mulia ketimbang malaikat. Kesadaran penuh atas kekhilafan sebagai khalifah membuat Adam-Hawa kembali kepada ketaatan hanya kepada Allah (QS. 2:37), bukan kepada iblis atau kepada siapa dengan status apa pun. Adam bertaubat selama 40 tahun dengan mentawafi Ka’bah, sebelum bersama Hawa benar-benar menjadi khalifatullah, wakil Allah, pemimpin manusia dan pelestasi lingkungan.

Dua putra Adam-Hawa, Habil dan Qabil diuji dengan pilihan menaati-Nya atau mencintai interes pribadi. Keduanya diperintah Allah untuk berkurban. Perspektif tauhid Habil bahwa apa pun yang ia miliki adalah milik-Nya membuatnya berkurban dengan hewan ternak terbaik tanpa cacat sedikit pun. Kurban Habil dimotivasi ikhlas dan visi pasrah atas apa pun kehendak-Nya. Qabil yang menganggap pernikahan silang tak adil baginya menilai perintah berkurban sebagai pilih kasih ayahandanya kepada Habil. Egoisme dan buruk sangka berlebih Qabil kepada Allah dan ayahandanya membuat dia tidak berkurban dengan hasil panen terbaik (QS. 5:27).

Takwa berwujud qurbaan berupa domba sempurna kian mendekatkan Habil dengan Allah. Harta tak berharga berwujud hasil panen busuk, egoisme, dan buruk sangka membuat kurban Qabil ditolak dan makin menjauhkan dia dari takwa kepada Allah. Konsep qurbaan seperti diamalkan Habil dan Qabil menunjuk kepada persembahan terbaik yang dimiliki seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kurban sempurna bersumber dari dan menghasilkan takwa. Qurb berarti dekat. Imbuhan aan berarti sempurna (Quraish Shihab, 1997).

Hanya kurban sempurna yang mendekatkan insan kepada Allah. Kurban sempurna merupakan rezeki manifestasi takwa. Takwa menurut Al-Ghazali adalah perasaan pedih-perih dalam kalbu akibat membayangkan berbagai kesengsaraan neraka. Manifestasi takwa, seperti ditegaskan Umar ibn Khattab, berwujud sikap penuh hati-hati, lisan maupun tindakan, dalam setiap aktivitas kehidupan. Takwa merupakan bekal terbaik haji (QS. 2:197). Karena itu, berkurban maupun berhaji merupakan manifestasi takwa dari rezeki yang juga diperoleh dari kinerja takwa. Berkurban atau berhaji dengan bekal materil, spiritual dan sosial takwa akan meningkatkan takwa dan menjadikan muslim makin berkebajikan (mabrur) kepada manusia dan lingkungan dengan surga sebagai balasan abadinya.

Uswah Keluarga Ibrahim
Taubat Adam selama 40 tahun mentawafi Ka’bah merupakan taubat terbaik yang pernah dilakukan manusia. Kurban Habil adalah materi terbaik sebagai manifestasi spiritual takwa. Kurban Ibrahim adalah Ismail, manusia terbaik di hatinya karena lama dinantikan kelahirannya. Bagi Ibrahim, segala sesuatu di alam semesta adalah milik Allah dan ketaatan kepada-Nya dengan berkurban apa pun memenuhi perintah-Nya adalah kepasrahan mutlak tanpa kompromi apa pun. Berislam atau menjadi muslim berarti memasrahkan diri secara utuh kepada Allah.

Kurban bagi Ismail adalah bahwa bakti kepada orangtua tidak mengurangi ketaatan kepada Allah. Bagi Ismail, penyembelihan dirinya merupakan kurban terbaik untuk membuktikan ketakwaan, kesabaran dan pendekatan sempurna diri dan keluarga kepada-Nya. Tingkat manifestasi takwa adalah kepasrahan sempurna manusia kepada Allah, lalu berihsan, berbakti secara optimal kepada orangtua. Kurban terbaik bagi Hajar adalah bahwa menyembelih Ismail demi menunaikan janji kepada Allah merupakan wujud sempurna kecintaan ibu kepada anak.

Penyembelihan Ismail oleh Ibrahim merupakan puncak tauhid dan takwa keluarga Ibrahim. Perintah mengurbankan Ismail membuktikan begitu banyak uswah keluarga tersebut: kesabaran atas segala cobaan, keikhlasan menepati janji, kebersamaan menghadapi godaan iblis, kesalingpercayaan saat memecahkan masalah, kecintaan dan kesetiaan kepada keluarga, ketulusan beramal tanpa interes apa pun, dan sekian banyak kebajikan tak terhitung lainnya. Track record seseorang dalam keluarga menjadi ukuran yang begitu penting dalam memilih pemimpin. Keluarga yang jelas-jelas korup berkemungkinan besar melahirkan dan membesarkan generasi pemimpin perusak tatanan sosial.

Berkurban, berhaji, atau beridul Adha adalah syariat untuk, pertama, meneladani kecerdasan Ibrahim sebagai bapak dalam menyolusi pelbagai persoalan hidup, berani menghadapi kemunkaran sosial, politik dan ekonomi individu atau dinasti, penuh cinta dan kasih sayang serta tanggung jawab kepada keluarga, kedua, meneladani ketabahan dan integritas Hajar sebagai ibu dalam menghadapi beratnya kehidupan tetapi tulus dengan hidup bersih dan kasih sayang sempurna kepada keluarga, ketiga, meneladani kesabaran, kepasrahan dan pengurbanan Ismail sebagai anak dalam menaati Allah sepenuh jiwa dan berbakti kepada orangtua setulus hati.

Imam dan Khalifah
Berbagai sifat terpuji Ibrahim kepada Allah, keluarga dan lingkungan menjadikannya imam. Adam dijadikan khalifah (QS. 2:124) sedangkan Ibrahim dijadikan imam (QS. 2:30). Akar kata khalifah bermakna belakang dalam arti mengikuti atau mendorong. Akar kata imam yang seakar dengan kata ummah dan umm atau ibu berarti depan dengan makna keteladanan (Quraish Shihab, 1995). Imam atau pemimpin ummat idealnya dilahirkan dari umm atau ibu seperti Hajar. Kedua kata itu, imam dan khalifah, bermakna pemimpin dengan perbedaan bahwa khalifah potensial melakukan kekhilafan karena mengikuti hawa nafsu seperti dilakukan Adam ketika ia bersama Hawa berada di surga (Quraish Shihab, 1995).

Umat Islam wajib bersyukur karena kisah dan teladan agung kemanusiaan, kenabian, dan ketakwaan itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad dan menjadi milik umat Islam karena berada dalam Al-Qur’an. Idul Adha merupakan momen religius untuk mentadaburkan Al-Qur’an, menilai iman dan takwa, meneladani kepemimpinan para nabi, mempelajari kemajuan dan kejatuhan umat terdahulu, mengamati fenomena sosial, beramal saleh untuk memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat serta melestarikan lingkungan. Kerusakan masyarakat seperti di Banten diakibatkan oleh tidak kritis dan selektifnya masyarakat dan para pemimpinnya, termasuk ulama dan politisinya, dalam memilih pemimpin.  

Umat Islam masih dapat berharap dari ratusan ribu calon haji yang kini berada di Baitullah, kendati jutaan haji sebelumnya tidak optimal memperbaiki kondisi umat dari korupsi, kemiskinan, kebodohan, dan kerusakan kronis ekologi. Haji hakikatnya adalah internalisasi taubat Adam, ketulusan berkurban Habil, kesabaran dan keserbabaikan keluarga Ibrahim. Berhaji ke Makkah berarti menziarahi nenek moyang manusia, mengucapkan salam kepada Bapak Agama Tauhid, dan bermuwajahah dengan penutup para nabi dan rasul. Calon pemimpin yang telah berhaji semestinya tahu diri dengan bercermin kepada para nabi pembangun kota Mekah itu.

Menjadi tamu Allah di Ka’bah hakikatnya menjadi pelayan Allah bagi masyarakat, memanifestasi takwa, berkebajikan tanpa pamrih, memakmurkan masjid-masjid Allah, memberdayakan rakyat dan tidak merampok kesejahteraannya, lazimnya Adam, Ibrahim dan Muhammad memakmurkan masyarakat melalui institusi sosioreligius masjid dan berbagai institusi sosial lainnya termasuk politik dan ekonomi. Menjadi haji mabrur bertolak dari bekal spiritual, sosial, intelektual, dan materi takwa. Kemampuan melaksanakan haji tak hanya diukur dengan materi.

Kemampuan juga berarti kesadaran tentang status materi, mengetahui pelbagai hal mengenai haji, hingga pada akhirnya meneladani ketakwaan para nabi dan keluarga mereka untuk menjadi imam atau khalifah bagi masyarakat. Bekal haji dengan dana berasal dari korupsi seperti dicontohkan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian, itu merupakan wujud Qabil modern dalam bentuk pribadi dan sistem politik dinasti.

Idul Adha mengingatkan umat Islam agar tidak mudah mengamanatkan kepemimpinan kepada mereka yang tidak memahami dan meneladani konsep imam dan khalifah seperti diteladankan Adam dan Ibrahim: mengakui kesalahan, bersedia dikritik, mengutamakan umat ketimbang keluarga atau dinasti dan koalisi, bermusyawarah dan mengevaluasi setiap kebijakan. Korupsi, kemiskinan dan kerusakan lingkungan di Banten, sebagai misal, menjadi fakta betapa jauhnya para pemimpin dari takwa serta dari ketulusan berkurban, juga dari kepatuhan kepada perintah Allah seperti diuswahkan secara pribadi oleh Habil dan secara keluarga oleh Ibrahim-Hajar-Ismail. 

Para pemimpin lebih dekat dengan Qabil, mengorupsi jabatan dan kekayaan rakyat demi pribadi, dinasti dan koalisi, daripada berkurban penuh ketulusan agar dekat dengan Allah, mewujudkan kemaslahatan umat dan memelihara kelestarian lingkungan.*****


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Idul Adha dan Kepemimpinan"

Post a Comment