TangerangSatu.com – Jika
disebut nama Jawara, maka biasanya imajinasi orang langsung tertuju pada sosok
yang berkopeah hitam (peci) berbaju hitam dan celana hitam gombrong sebatas
mata kaki dan sudah pasti dengan sebilah golok terselip di pinggang.
Sosok jawara ini diidentikan dengan seseorang
yang menyukai kekerasan dan terkesan negatif, karena kalau seseorang memiliki
masalah atau perselisihan dengan para jawara ini kerap diselesaikan dengan cara kekerasan fisik.
Maka sebisa mungkin orang menghindari
berurusan dengan para jawara ini. Tapi pertanyaannya bagaimana asal mula
munculnya sosok jawara di Banten ini? Apakah benar mereka suka dengan kekerasan
dan menyelesaikan segala perkara dengan kekerasan?
Seperti banyak ditulis oleh para ahli
sejarah, kahadiran para jawara ini tidak terlepas dari usaha para kiyai dalam
berjuang melawan penjajah, terutama kompeni Belanda yang sudah masuk ke Banten
sekitar abad ke 15, tepatnya pada tanggal 23 juni 1596. Di bawah pimpinan
Cornelis de Houtman.
Bukan hanya Belanda beberapa bangsa tercatat
pernah datang ke Banten. Seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Jepang.
Kedatangan mereka ke sini untuk membeli rempah-rempah yang memiliki harga tinggi
di pasar Eropa. Karena kekayaan dan kemakmuran itulah Banten menjadi daerah
rebutan.
Belanda adalah bangsa yang paling lama
menguasai daerah ini. Awalnya kedatangan mereka untuk membeli rempah dengan
harga murah, tapi lama kelamaan mereka memonopoli perniagaan rempah. Tentu saja
nafsu serakah bangsa Belanda ini tidak disukai oleh penduduk setempat terutama
para elit penguasa yang merasa status quonya diintervensi.
Bersumber dari rasa tidak puas ini penduduk
mulai bangkit berontak dan melawan kesewenang-wenangan kompeni Belanda, yang
dipimpin para kiyai yang notabene sekaligus elit penguasa lokal, mengapa
demikian? Karena para penguasa Banten ini yang di sebut Sultan dulunya para
mubaligh yang mempu mengalahkan kekuasaan Kerajaan Siliwangi yang kekuasaannya
meliputi wilayah Tengerang, Banten sampai Lampung.
Para sultan atau para kiai ini dalam memimpin
gerakan sosial selalu dikawal atau didampingi oleh para santrinya. Para kiai
biasanaya memiliki dua kelompok santri. Pengelompokan ini bukan didasarkan pada
jumlah tapi lebih diakibatkan oleh kemampuan masing masing santri. Kelompok
santri yang pertama memiliki potensi atau kemampuan yang lebih dalam bidang
ilmu agama yang kelak kemudian menjadi penerus da'wah Islamiyah.
Sedangkan kelompok santri yang kedua adalah
yang memiliki bakat bela diri dan kemampuan Kanuragan (ilmu kekebalan dan kesaktian lainnya yang pada perkembangan
berikutnya dinamakan para Jawara.
Setelah kesultanan Banten dihapuskan oleh
Daendels, maka seluruh tatanan sosial menjadi chaos dan bangrut. Ditengah
suasana yang kacau balau inilah para kiai yang dibantu santri Jawara melakukan
gerakan perlawanan secara radikal.
Seperti yang ditulis dalam sejarah, pemberontakan, penyamunan, pembegalan dan
pembunuhan sering dialami kompeni
Belanda. Yang melakukan pemberontakan bukan hanya dari kalangan
kiai tapi juga dilakukan oleh para elit
lokal yang kehilangan hak hak kebangsawanannya.
Kerap para elit lokal ini bekerjasama dengan
para bandit dan perampok yang sesungguhnya, dengan tujuan menciptakan ketidak
amanan di kalangan orang Belanda.
Namun sekitar tahun 1880-an yang muncul
adalah para perampok dan bandit saja yang tanpa pilihbulu melakukan aksinya
seperti yang ditulis Dr mufti Ali dalam bukunya “Sejarah Banten-Membangun
Tradisi dan Peradaban” kondisi ini dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk
menjatuhkan citra para pejuang atau jawara, yang mencap mereka sebagai
ongeredeldheden (pemberontak), woelingen (pengacau) onrust (pembuat onar).
Konotasi negatif yang dialamatkan pada para
jawara terus berlanjut, seperti yang ditulis dari sumber yang lain bahwa kata
jawara singkatan dari “jalema wani rampog” (orang berani merampok)
atau “jalma wani rahul” (orang berani bohong).
Seorang Residen Banten F.G. Putman
Creamer tahun 1931, melaporkan bahwa golongan jawara berasal dari apa yang
disebut orok lanjang yang ada di distrik Menes, tadinya organisasi ini ini
bertujuan untuk saling tolong menolong, misalnya kalau ada yang mau hajatan
mereka membantu dalam penyelenggaraannya.
Lama kelamaan organisasi ini tumbuh keluar
wilayah Menes dan menjadi organisasi yang wajib diundang jika ada mau hajatan.
Jika tidak mereka akan membubarkan hajatan tersebut dan selanjutnya organisasi
ini menjadi anggota tukang pukul yang disebut jawara, konon kelompok ini sangat
ditakuti masyarakat.
Menurut residen Banten ini tahun 1916 kaum pangreh praja
jika datang ke yang hajatan mesti membawa senjata api karena khawatir diganggu
kelompok jawara. Yang pada akhirnya nilai-nilai luhur yang diemban para
“jawara” dalam memperjuangkan kebebasan bangsa ini terkontaminasi oleh
segelintir prilaku para bandit dan para begal, yang terlanjur dinamakan Jawara.
- Ida R Sanusih
- http://wisatabanten.com/sekilas-pandang-sejarah-jawara-di-bumi-banten/
0 Response to "Asal Muasal Jawara di Bumi Banten"
Post a Comment