Menyoal Reklamasi Pantai Utara Tangerang

Menyoal Reklamasi Pantai Utara Tangerang
Oleh Budi Usman8)

Akibat pendapatan yang terus menurun drastis, ratusan nelayan yang tergabung dalam Serikat Nelayan Indonesia mengelar aksi unjuk rasa di Pesisir Pantai Kapuk dan Dadap. Tangerang, Banten. Mereka menuntut reklamasi pantai dihentikan karena sejak ada reklamasi di Pantai Kapuk dan Dadap Tangerang penghasilan para nelayan dan petani kerang hijau menurun drastis. Ratusan nelayan dari serikat nelayan Indonesia mengelar aksi unjuk rasa dikawasan reklamasi pantai Tangerang Internasional City, Dadap Tangerang.

Sebelumnya, para nelayan serta petani kerang hijau melakukan konvoi mengunakan berbagai perahu serta membawa atribut poster dan spanduk di sekitar area reklamasi. Sebab sejak ada pengurukan pantai atau reklamasi, penghasilan para nelayan serta petani kerang hijau menurun drastis. “Reklamasi tak disiapkan dengan benar, lahan dan penghidupan kami menjadi semakin sulit,” ujar coordinator aksi Kadinal, Senin (23/11).Sementara Ade Sukandar nelayan lainnya mengatakan, dirinya sudah sudah tiga tahun mengalami kerugian dalam menangkap ikan karena reklamasi pantai Dadap., tuntutan para nelayan adalah reklamasi segera di hentikan , karena kami punya keluarga yang harus di kasih nafkah (tangerangnews.com 23/11/15)


Kawasan dan kondisi Pesisir Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang keadaannya memang telah lama memburuk. Di samping kehilangan kemampuannya sebagai agen perlindungan ekosistem pantai, juga tampak tak terurus dan cenderung terabaikan.


Rencana prestisius reklamasi Pantura yang pernah dirilis tahun 1985 pada pemerintahan Presiden Soeharto, awalnya tentu akan memperoleh pujian sebagai perhatian pemerintah atas kondisi areal yang menurut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 merupakan kawasan lindung sempadan pantai. Potensi wisata di pantai utara (Pantura) Kabupaten Tangerang diminati sejumlah investor properti, resort and cottages. Ada tiga pengembang yang sudah merencanakan pembangunan di tiga lokasi yakni Desa Tanjung Pasir Kecamatan Teluknaga, Desa Tanjung Burung Kecamatan Teluknaga dan Desa Kohod Kecamatan Pakuhaji.


UBAIDILAH Kabid tata ruang Dinas Tata Ruang Kabupaten Tangerang, mengatakan, pengembangan kawasan Pantura Kabupaten Tangerang sudah tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2011-2031. Tujuan penataan ruang wilayah yakni untuk mewujudkan Kabupaten Tangerang sebagai pusat kegiatan industri, permukiman dan pengembangan kawasan perkotaan baru Pantura.


Saat ini kawasan Pantura sudah menjadi salah satu daya tarik utama Kabupaten Tangerang. Hal ini terlihat dari banyaknya pengembang yang tertarik untuk melaksanakan pembangunan properti di kawasan tersebut. Beberapa rencana pengembangan perumahan dan sarana penunjang lainnya seperti resort and cottages di wilayah Pantura berdasarkan pengajuan siteplan, yakni Desa Tanjung Pasir seluas 20 hektar, Desa Tanjung Burung 519 hektar dan Desa Kohod 42 hektar,.Namun demikian, pengembangan kawasan Pantura juga harus tetap memperhatikan dan menjaga kawasan hutan lindung berupa hutan bakau seluas 1.576 hektar. Hutan lindung tersebut tersebar di Kecamatan Kronjo, Kemiri, Mauk, Pakuhaji, Teluknaga dan Kosambi. Serta kawasan sempadan pantai sejauh 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang terbentang sejauh 51 kilometer atau seluas 510 hektar.

Pemerintah Kabupaten Tangerang berencana mereklamasi pantai seluas 9.000 hektare. Untuk memuluskan rencana tersebut, Tangerang menggandeng pengembang kelas kakap, seperti Salim Group dan PT Agung Sedayu. Reklamasi dibuat untuk bisnis properti. Ke depannya, di sana akan ada kawasan hunian, pusat bisnis dan jasa, kawasan industri, pergudangan, serta pelabuhan dan peti kemas. Rencana reklamasi pantai utara Tangerang dan sekitarnya sudah sekian tahun menjadi kontroversi. Terutama jelas menyangkut manfaat apa yang akan diambil dan efek atau kerugian apa yang mungkin akan terjadi untuk ditanggung bukan saja oleh pihak yang terkait namun juga oleh rakyat terutama warga Tangerang dan sekitarnya.



Investigasi terjadinya Reklamasi lahan perikanan dan pesisir pantai Kecamatan Kosambi dan Teluknaga


Dari investigasi lapangan kamis 17/9/2015 ,kami menemukan beberapa persoalan up date yang terjadi di sepanjang pantai kabupaten Tangerang terutama di sepanjang pantai dan pesisir Desa Dadap, Kosambi Timur dan Pantai Muara Teluknaga Kabupaten Tangerang. Sungguh hal yang luar biasa ternyata sekarang terjadi proses pelaksanaan kegiatan pengurukan ( reklamasi ) di sepanjang pantai tersebut, jajaran Pemkab Tangerang dam Pemprov Banten seakan tutup mata dengan kejadian yang sudah berlangsung satu tahun ini. Ratusan hektar lahan perikanan dan pesisir di reklamasi secara “sistematis” tanpa mengindahkan aturan dan regulasi yang berlaku di republik ini.


Padahal idealnya dalam diskusi yang pernah kami lakukan dalam kerangka percepatan pembangunan Kabupaten Tangerang , Pemkab Tangerang mengklaim amat konsen untuk percepatan dan kemajuan kesejahteraan rakyat Tangerang Utara. Di jelaskan, Tangerang Internasioal City (TIC) berhak menunjuk sejumlah pengembang untuk bersama-sama membangun Kota Baru Pantura. Saat ini pengembang properti tersebut telah mendapatkan izin lokasi untuk menggarap kawasan bisnis dan perumahan di Kecamatan Kosambi dan Pakuhaji. Pembangunan konsep yang sama akan dilakukan Agung Sedayu pada lahan reklamasi nantinya.


Pemerintah Kabupaten Tangerang mengklaim sudah mendapatkan izin dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) untuk mereklamasi 9000 hektar di pesisir pantai utara Tangerang. Izin itu dikeluarkan pada 23 September 2010 yang isinya antara lain mengizinkan pembangunan kota baru Tangerang di kawasan pantai utara Tangerang dengan cara mereklamasi laut. “Proses reklamasi dilaksanakan setelah proses perizinan selesai karena menyangkut aspek legal” .


Solusi kritis bahwa pertimbangan ekosistem lingkungan harus dilakukan secara berhati-hati. Penyediaan konservasi lahan hutan bakau dan hutan pantai (termasuk menanam pepohonan akar dalam di permukiman) justru harus menjadi prioritas perlindungan lingkungan pantai. Rehabilitasi kerusakan ekosistem yang terkena dampaknya juga harus dirancang sejak dini.“Kami mengusulkan Pemkab Tangerang menyiapkan program antisipasi aspek dampak sosial.


Kami menilai “ reklamasi ilegal dan destruktif” yang sekarang terjadi di pantai kabupaten tangerang tersebut bakal mempengaruhi keseimbangan ekologi laut di daerah tersebut. Reklamasi membuat biota bawah air seperti terumbu karang akan mati. Termasuk ikan-ikan yang hidup di sekitar terumbu, kematian biota laut mencederai keadilan ekologi. Sebab, yang berhak hidup bukan hanya manusia, tapi juga makhluk lainnya , jika biota laut mati, pemerintah dan pengembang telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan aturan tersebut juga, reklamasi hanya diperbolehkan bila lingkungan terjadi kerusakan karena terkena abrasi. kami tak sepakat jika reklamasi dilakukan hanya untuk keperluan bisnis semata. Kalau motifnya bisnis, apakah kepentingan tersebut dalam rangka penyelematan lingkungan ?

Kritik keras Susi Pudjiastuti terhadap Reklamasi


Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti mengkritik keras rencana reklamasi di Pantai Utara Jakarta dan Tangerang. Menurut dia, ketimbang reklamasi pulau, lebih baik para developer mengembangkan pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta. "Kemarin yang mengikuti pertemuan dengan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indoneisa) juga dengar sendiri ada perwakilan dari HNSI Jakarta yang komplain mengenai reklamasi. Mereka bilang, itu tempat mereka cari makan, cari ikan, dan sekarang mau dibikin pulau. Saya melihat pulau di Kepulauan Seribu itu banyak sekali yang belum dikelola. Ngapain juga bikin pulau di depan Jakarta," ujar Susi (8/9/2015).


Lebih lanjut, kata Susi, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) melihat ada kecenderungan bahwa para developer menganggap reklamasi sebagai hal yang praktis dan mudah untuk membuat properti di Jakarta. Padahal, kata dia, reklamasi justru akan menyisihkan masyarakat yang hidup di pesisir. Saat ini, penolakan terhadap rencana reklamasi semakin sering terjadi. Tak hanya di Jakarta, penolakan juga muncul di berbagai daerah. "Saya mengerti bahwa hal ini patut kita waspadai, patut kita akses, dan analisis amdalnya harus betul-betul bagus supaya tidak merugikan masyarakat yang hidup di pesisir itu sendiri," kata dia.Namun, dia mengaku tak memiliki kewenangan untuk menghentikan rencana reklamasi itu. Saat ini, dia hanya bisa memberikan pendapat dan masukan agar rencana reklamasi pantai bisa menjadi perhatian seperti di lansir dari Indo Pos18/9/2015


Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Muhammad Zulfikar Mochtar mendorong KKP melakukan moratorium reklamasi-reklamasi pesisir berbagai daerah di Indonesia. Iskindo menduga berbagai pihak mulai menganggap reklamasi sebagai jalan murah melakukan pembangunan. Saat ini puluhan reklamasi sedang disiapkan di seluruh wilayah Indonesia dengan skala yang masif. Kita mengkhawatirkan ini menjadi preseden bagi banyak pihak bahwa ini menjadi cara paling murah membuat pembangunan di pesisir. Padahal, pesisir itu punya kompleksitas ekosistem yang dahsyat dengan nilai ekonomi yang besar.


Menurut Mentri Kelautan dan Perikanan Susi , proyek reklamasi tak bisa dilakukan tanpa mengindahkan aspek lingkungan hidup secara menyeluruh.“Saya terakhir rakor dengan Menko Perekonomian bersama Bappenas, PU, Menko Maritim, dan pada akhirnya sore itu deadlock. Semuanya di-hold. Program reklamasi harus dihentikan, dianalisa dan dikaji ulang,” katanya dihadapan peserta RDP. Masih menurut Susi, apa pun yang akan lakukan kepada alam itu harus memberikan perhatian kepada ekosistem secara umum. “Bila kita mereklamasi satu hektar, berarti kita juga harus menyediakan tempat genangan air in other place juga satu hektar. Bila itu tidak bisa, maka itu tidak boleh dilakukan,” katanya dengan nada suara yang tegas.


Susi mengakui sikap tegasnya tersebut karena dirinya berlatar belakang seorang aktivis lingkungan. Namun demikian sikap tegasnya yang berpegang teguh pada prinsip sebagai pribadi yang aktivis lingkungan, bukan berarti dirinya anti pembangunan. Susi sangat mendukung pembangunan yang berkelanjutan. “Kalau pantai utara Jakarta dan Tangerang mau direklamasi 10 hektate, ya harus adawater site di tempat lain seluas yang sama. Kalau tidak ada, ya Jakarta akan makin tenggelam. Apa pun yang kita lakukan, kita tidak bisa membuat air just to nowhere. Buat dulu danaunya dimana, bendungan tempat untuk menampung air dimana, baru boleh melakukan reklamasi” terangnya (Mongabay.co.id).


Sependapat dengan Susi Pudjiastuti, seharusnya sudah saatnya kita merubah paradigma pembangunan sungai yang suistainable. Bukan project suistainability seperti yang terjadi saat ini. Jika paradigmanya project suistainability maka bukannya menyelesaikan masalah tapi menciptakan masalah baru. Lihat saja setiap tahun Milyaran dan triliunan rupiah dari APBD dan APBN dihabiskan hanya untuk biaya pengerukan sungai jelang musim hujan. Itu karena paradigmanya project suistainability. Jika dilihat dari aspek lingkungan saja harus ada kajian yang komprehensif karena reklamasi berdampak pada rusaknya ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau sekitarnya.

Dan setahu kami, hasil kajian AMDAL yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa reklamasi teluk Jakarta dan pantai Tangerang hingga saat ini belum layak. Dan jika dilihat dari aturan perundang-undangan terkait reklamasi, sangat jelas dan terang benderang bahwa yang berwenang mengeluarkan izin reklamasi untuk daerah strategis nasional adalah pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pemda hanya berwenang memberikan pertimbangan terkait zonasi, tapi tidak berwenang mengeluarkan izin reklamasi untuk daerah strategis nasional dan daerah konservasi.


Kesimpulan hasil RDP antara Komisi IV DPR dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa Komisi IV DPR mendesak pemerintah untuk segera menghentikan reklamasi Jakarta dan sekitarnya karena akan mematikan penghidupan nelayan tradisional dan merusak lingkungan pesisir. Komisi IV DPR juga meminta pemerintah untuk mengkaji ulang proses kedua tahap reklamasi itu sesuai dengan UU No.1/2014 tentang perubahan Atas Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.


FAKTA

Bupati Tangerang sebagai Kepala Pemerintah daerah, DPRD dan pengembang yang memperakarsai kegiatan reklamasi harus bertanggung jawab terhadap penyelamatan kawasan lindung pantai tampaknya tidak obyektif lagi. Dalam usaha memanfaatkan tanah atau lahan yang akan direklamasi timbul ada perbedaan-perbedaan pendapat. Ada lahan “tanah” yang sudah dimanfaatkan ketika belum lagi berbentuk “tanah”, melainkan baru sebagai genangan air yang dangkal. Ada pula sebidang tanah timbul yang sudah dimanfaatkan, ketika sifat tanahnya masih belum pantas lagi diolah untuk menjadi tanah pertanian, karena kadar garam tanahnya masih tinggi. Dalam pertumbuhan tanah timbul, okupasi lahan oleh masyarakat belum tentu menunggu sampai benar-benar ada wujud “tanah”. Begitu tanah itu muncul kemudian dimulai pengolahannya menjadi tanah pertanian yang baik, okupasi masyarakat di atas tanah itu biasanya sudah mantap.

Kiranya perlu juga diperhatikan UU No. 51/1960, tentang larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 5/1960 melarang penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud tanah padat. Dengan adanya UU No. 5/1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti tersebut di atas. Lahan tanah timbul, dalam tahapan yang manapun wujudnya, biasanya ada vegetasinya. Kalau ada yang menebangi pohon-pohon tetapi tidak langsung memanfaatkan tanahnya, orang tersebut dapat juga dituntut sebagai pelanggar hukum berdasarkan UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Apabila sampai terjadi pencemaran ataupun kerusakan lingkungan hidup, tuntutan dapat juga didasarkan UU No. 32/2009.

Hal diatas akan berbeda kalau yang direklamasi itu sepenuhnya laut. Sebab, hak atas tanah hanya berlaku sampai batas pasir pantai. Karenanya, laut tidak dapat dilekati dengan hak atas tanah. Pemegang hak atas laut sampai ke batas yang ditentukan oleh “Konvensi Hukum Laut PBB” yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 17 Tahun 1985 adalah negara. Jadi, seluruh kawasan perairan laut Indonesia dikuasakan kepada Departemen Perhubungan untuk kepentingan pelayaran. Masalah yang dapat timbul adalah bagaimana status tanah yang muncul akibat reklamasi. Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalah itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada.


Kalau diurut tahap-tahap kemunculan tanah baru itu menurut Prof Dr Maria Sumardjono SH MCL MPA dalam bukunya (tahun 2001) tentang kebijakan pertanahan adalah sebagai berikut

Pertama, berbentuk laut yang dikuasai oleh negara.


Kedua, direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP nomor 51 tahun 1993. Ketiga, muncul tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah hasil reklamasi. Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan azas kepatutan, tentu pihak yang mereklamasi yang dapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut.

Alih fungsi pantai menjadi daratan kering dengan sebutan “reklamasi” dalam penjelasan perda reklamasi pasal 6 ayat 2 adalah melalui sistem folder yang diintrepetasikan sebagai sistem tata air untuk suatu daerah tersebut permukaan tabah lebih rendah dari permukaan air sekitarnya oleh karena daerah tersebut dilindungi sekelilingnya oleh tanggul dengan menggunakan sistem penataan air,yang menampung air melalui system drainase kedalam satu atau beberapa tanggul,yang kemudian air tersebut dipompakan untuk dibuang kelaut.

Tapi faktanya itu akan terjadi jelas dibangun dengan obsesi keuntungan bisnis. Biaya lima hingga 10 tahun tahun pertama yang disebutkan pengembang kini mungkin berlipat 10 kali pun akan tetap menjadi sangat kecil dibanding harga jual tanah yang akan sangat tinggi dan otoritas pengendalian perkembangan bisnis di daerah daratan baru tersebut yang sangat menguntungkan.

Aspek positif “reklamasi” memang diakui tidak sedikit. Tertatanya kawasan pantai, tersedianya ruang bisnis dan permukiman baru, lapangan kerja yang semarak yang berimplikasi menjadi solusi penangulangan kemiskinan dan pengannguran , ataupun meningkatkan arus investasi yang akan tercipta tentu tidak mudah diperoleh saat ini. Pengembangan ruang wisata baru juga bermanfaat mengurangi arus wisatawan ke kawasan Puncak yang telah sangat padat. Namun, harus pula disadari bahwa aspek negatif yang muncul banyak yang berjangka pendek ataupun dalam jangka panjang. Dalam skala yang sangat besar dan menyakitkan, atau yang tidak terasakan secara langsung, yang akan muncul pada awalnya adalah perubahan pola pasang surut dan pola aliran mati air limpas dari hulu ke hilir yang dipastikan akan memperparah Kuantitas dan kualitas banjir hilir .

Sebagai seorang konservasionis dalam hal percepatan pembangunan Kabupaten Tangerang, saya lebih condong memilih langkah moderat. Membangun dengan tidak mengorbankan ekosistem lingkungan serta selalu berusaha meraih keuntungan ekonomis dari suatu upaya pembangunan justru melalui dukungan perbaikan maupun potensi lingkungan. Lantas, bagaimana halnya dengan Pantura ini? Mudah-mudahan Bupati Tangerang dan DPRD ini ikut memahami kekhawatiran terhadap rusak dan hilangnya sumber daya lingkungan pantai yang akan menyengsarakan rakyat kecilnya meskipun menyenangkan segelintir orang yang berkuasa dan kelompok yang berkepentingan.

PENUTUP
Pertimbangan ekosistem lingkungan harus dilakukan betul-betul secara berhati-hati. Tidak harus dipaksakan membangun daratan kering seluas-luasnya. Penyediaan konservasi lahan hutan bakau dan hutan pantai (termasuk menanam pepohonan akar dalam di permukiman) justru harus menjadi prioritas perlindungan lingkungan pantai, rehabilitasi kerusakan ekosistem yang dipangsa maupun terkena dampaknya harus dirancang dan dilaksanakan sejak dini. Pemkab Tangerang harus menyiapkan program antisipasi perubahan layanan sosial termasuk menyiapkan pengaturan calon daratan tersebut agar tidak menjadi pemicu konflik horizontal sosial di masyarakat.

Terlepas dari prematurnya sosialisasi reklamasi ke masyarakat, kita berharap segera dapat memeroleh kesungguhan perencanaan komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder dan pelaksanaan obyektif suatu studi dan kajian hingga implikasi lingkungan, yang benar-benar dapat diandalkan untuk mendasari suatu keputusan penting bagi implementasi pembangunan Kabupaten Tangerang dan Banten yang integral dalam bingkai kesejahteraan masyarakat.
Wallahu Alam Bisawab ***

8)Penulis, Warga Peduli Konservasi, tinggal di Teluk Naga

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menyoal Reklamasi Pantai Utara Tangerang"

Post a Comment