Investigasi terjadinya Reklamasi lahan perikanan dan pesisir pantai Kecamatan Kosambi dan Teluknaga dari investigasi lapangan kamis 17/9/2015 hingga 06/05/2016 telah di temukan beberapa persoalan up date yang terjadi di sepanjang pantai kabupaten Tangerang terutama di sepanjang pantai dan pesisir Desa Dadap, Kosambi Timur dan Pantai Muara Teluknaga Kabupaten Tangerang. Sungguh hal yang luar biasa ternyata sekarang terjadi proses pelaksanaan kegiatan reklamasi di sepanjang pantai tersebut, jajaran Pemkab Tangerang dam Pemprov Banten seakan tutup mata dengan kejadian yang sudah berlangsung satu tahun ini. Ratusan hektar lahan perikanan dan pesisir di reklamasi secara “sistematis” tanpa mengindahkan aturan dan regulasi yang berlaku di republik ini. Padahal idealnya dalam diskusi yang pernah dilakukan dalam kerangka percepatan pembangunan Kabupaten Tangerang, Pemkab Tangerang mengklaim amat konsen untuk kelestarian ekkologis serta percepatan dan kemajuan kesejahteraan rakyat Tangerang Utara.
Seperti dilansir Geotimes.co.id, tujuan awal proyek ini adalah untuk membangun bendungan di Teluk Jakarta.pantai Bekasi dan Pantai Tangerang Sehingga banjir rob (limpasan air laut ke darat) yang selalu menghantui Jakarta bisa ditanggulangi. Disamping itu, bendungan ini difungsikan sebagai penampung air yang mengalir dari 13 sungai yang melintas . Lalu, air itu diolah dan menjadi bahan baku air yang bisa dikonsumsi. Konsep yang di luar kebiasaan. Di dalamnya dibuat 17 pulau urukan dengan luas areal sekitar 5.100 hektare. Di pulau-pulau buatan itu akan berdiri apartemen, perkantoran, dan fasilitas komersial, sehingga Jakarta,Banten dan Jabar akan menjadi “Waterfront City” berkelas internasional.
Terungkapnya masalah administrasi dan dugaan korupsi dalam reklamasi Teluk Jakarta dan Pantai Tangerang membuat proyek serupa di daerah lain mendapat sorotan. Daerah-daerah lain yang bersinggungan dengan Ibu Kota ternyata memiliki rencana serupa.
Tengoklah Tangerang yang berada di Provinsi Banten. Ternyata, proyek reklamasi telah tertuang dalam peraturan daerah sejak tahun 1996 lalu. “Memang sudah ada aturannya dari lama,” kata Buipati Tangerang Zaki Iskandar, pada Kamis, 21 April 2016 (RAPPLER.COM).
Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031, area reklamasi mencakup lautan di kawasan Dadap-Kosambi hingga daerah Kronjo. Luasnya hingga dua kali reklamasi di Jakarta, atau mencapai 9 ribu hektar. Akan ada 7 pulau buatan yang dibangun.
Klaim Masih sebatas rencana
Lantas, dengan bentang lahan yang luar biasa, mengapa reklamasi Tangerang tak seramai Jakarta? Menurut Zaki, karena hingga saat ini reklamasi belum berjalan.“Masih sebatas rencana saja, belum ada apa-apanya,” kata dia. Kalaupun akan dimulai, anggota Partai Beringin ini tak akan ada sangkut pautnya. Sebenarnya, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional telah menerbitkan izin reklamasi pada 23 September 2010 lalu. Namun, proyek tak bisa dilanjutkan setelah Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 dikeluarkan karena wewenang pemberian izin reklamasi tak lagi ada di Pemerintah Kabupaten Tangerang. Semuanya ada di bawah pemerintah pusat atau Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Jadi ini tak ada hubungannya dengan yang di Jakarta loh ya,” kata Zaki Iskandar.
Pemerintah Daerah sendiri baru akan mulai terlibat setelah pulau selesai dibangun. Zaki mengatakan instansinya lah yang akan mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan mengatur pengelolaan di atas pulau-pulau itu.
Kepada Rappler, Zaki mengatakan area tersebut masih perawan dan belum tersentuh alat berat. Untuk pengembang pun, menurut dia, belum ditentukan siapa. Sejauh ini, kepada Pemda, baru satu perusahaan yang mengajukan proposal, yaitu PT Tangerang International City. Zaki mengaku tak tahu kalau Agung Sedayu Group, yang terlibat dalam reklamasi Teluk Jakarta, juga punya andil di Tangerang. “Yang sudah ajukan proposal hanya satu (TIC), kalau yang lain-lain ya lihat nanti kalau pulau sudah jadi,” kata dia. Menurut dia pun, saat ini belum ada pengerjaan yang dimulai karena tak ada izin. Karena itu, reklamasi di Tangerang pun masih belum menjadi buah bibir masyarakat.
Pusat bisnis dan pemukiman
Kepada Rappler, Zaki menjelaskan fungsi pulau-pulau buatan ini kelak. Melalui peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031, tampak kalau 5 dari 7 pulau akan menjadi kawasan tinggal penduduk. Sementara sisanya menjadi kawasan industri dan pelabuhan terpadu. Sayang, Zaki enggan menjelaskan secara lebih terperinci, termasuk luas pulau-pulau yang akan dibangun. “Saya belum tahu, nanti tunggu izinnya kelar saja,” kata dia.
FAKTA
Namun, investor (pengembang) , Bupati Tangerang sebagai kepala pemerintah daerah dan DPRD harus bertanggung jawab terhadap penyelamatan kawasan lindung pantai tampaknya tidak obyektif lagi. Bahkan, dengan cerdas pengembang reklamasi pantai , menggunakan tameng eksekutif-legislatif dan ahli-ahli perguruan tinggi sebagai penyusun konsep “manis” dan studi raperda serta Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang siap membela terdepan pembangunan daratan baru baru tersebut dengan sistim folder tersebut secara “ilmiah”. Padahal sudah sangat jelas bahwa persoalan reklamasi tidak semata-mata berbasis administrasi,tetapi harus berbasis ekosistem. Apalagi wilayah pesisir kabupaten tangerang ditetapkan sebagai green belt sebagaimana tertuang dalam UU nomor 5 tahun 1990 tentang konsep konservasi pantai.
Dalam usaha memanfaatkan tanah atau lahan yang akan direklamasi timbul ada perbedaan-perbedaan pendapat. Ada lahan “tanah” yang sudah dimanfaatkan ketika belum lagi berbentuk “tanah”, melainkan baru sebagai genangan air yang dangkal. Ada pula sebidang tanah timbul yang sudah dimanfaatkan, ketika sifat tanahnya masih belum pantas lagi diolah untuk menjadi tanah pertanian, karena kadar garam tanahnya masih tinggi. Dalam pertumbuhan tanah timbul, okupasi lahan oleh masyarakat belum tentu menunggu sampai benar-benar ada wujud “tanah”. Begitu tanah itu muncul kemudian dimulai pengolahannya menjadi tanah pertanian yang baik, okupasi masyarakat di atas tanah itu biasanya sudah mantap.
FAKTA
Namun, kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang dikatakan Zaki. Sejak tahun 2015 lalu, banyak temuan yang mengindikasikan reklamasi pantai utara Kabupaten Tangerang mulai berjalan. Area urukan ditaksir sudah mencapai puluhan hektare, dan menutupi pantai ke arah tengah laut.
Media ramai memberitakan pantai Muara Dadap, Kosambi, sudah tertutup rata dengan lapisan tanah dan pasir. Area ini kelak akan menjadi Pantai Indah Kapuk 2, sementara PIK 1 sudah terlebih dulu dibangun di Kamal Muara, Jakarta Utara. Nelayan di Pantai Dadap pun tak seiya sekata dengan Pemkab terkait reklamasi. Mereka juga melancarkan aksi penolakan, yang hampir serupa seperti nelayan di Teluk Jakarta. Namun, karena massa-nya kalah besar, aksi mereka pun luput dari perhatian. Alasan mereka sama, karena reklamasi justru bakal mencekik leher para nelayan. Kualitas air semakin buruk, perairan tempat mereka melaut juga bisa beralih menjadi daratan.
Pencurian pasir
Reklamasi Jakarta maupun Tangerang ini tak hanya berdampak pada nelayan di wilayah sekitar pulau buatan. Para nelayan di Pantai Serang Utara, Banten, juga terkena dampaknya.
Salah satu nelayan, Kholid Miqdar, masih menyaksikan pencurian pasir hingga sekarang. “Setelah moratorium, kapal-kapal penambang pasir juga masih jalan,” kata dia saat dihubungi Rappler kemarin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Manusia Rizal Ramli mengatakan proyek reklamasi Teluk Jakarta dihentikan sementara untuk menuntaskan masalah administrasi hingga sesuai dengan undang-undang. Namun, hingga saat ini memang masih belum keluar surat resmi penghentian, sehingga perusahaan pengembang masih bandel untuk melanjutkan pengerjaan. Terutama, di daerah Bontang, Tanara, dan Tirtayasa.
Sepenglihatan Kholid, kapal yang masih berjalan adalah kapal Queen of Netherlands yang beroperasi di sekitar Lontar dan kapal Vox Maxima di sekitar perairan Pulo Tunda. Pasir yang diuruk merupakan bahan baku untuk pulau-pulau buatan di Teluk Jakarta. Akibatnya, perairan di sekitar menjadi keruh. Juga merusak koloni terumbu karang yang ada. Selain itu, petani-petani tambak juga tak bisa lagi berbisnis lantaran abrasi yang merusak tambak mereka. “Benar-benar merusak kehidupan kami!” kata Kholid. Menurut analisa Kholid, kegiatan penambangan tersebut adalah ilegal karena tak berizin. “PT belum ada kok sudah menambang,” kata dia.
Sebenarnya, kapal-kapal tersebut telah beroperasi sejak tahun 2003. Namun, setelah keluarnya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, para pemilik kapal harus memperpanjang izin ke pemerintah provinsi. Kholid mengatakan syarat ini belum dipenuhi enam perusahaan penambang pasir di Teluk Banten.
Entah mengapa kapal-kapal ini bisa terus beroperasi tanpa pernah disentuh oleh aparat berwenang. Nelayan Serang yang berjumlah hingga ribuan tak henti-hentinya menyerukan aksi penolakan. Bahkan, pada 2012 lalu, sempat ada penembakan yang dilakukan oleh oknum Pol Airud (Polisi Air dan Udara) terhadap tiga nelayan setempat. “Kalau diteruskan, aksi semacam ini sangat bertentangan dengan jargon Pak Jokowi soal kebangkitan maritim,” kata Kholid. Reklamasi justru lebih mematikan nelayan, ketimbang memperbaiki kehidupan mereka.
Siapa Diuntungkan
Sejak awal, pencanangan proyek ini bertujuan untuk memecahkan persoalan banjir yang selalu menjadi momok mengerikan bagi Jakarta setiap tahunnya. Kasus seatlemen (penurunan permukaan tanah) di Jakarta terus terjadi, sebagai dampak dari penyedotan air tanah secara besar-besaran. Di satu sisi, permukaan laut terus naik, sebagai akibat dari pemanasan global.
Keterlibatan pihak swasta, memang sudah wajar dilakukan oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan urusan pendanaan. Karena itu, pemerintah pun menggandeng developer kelas kakap untuk terlibat di dalamnya.
Nanti, pengembang mendapat ijin dari pemerintah untuk mengkomersilkan pulau-pulau yang dibangun di dalamnya.
Sekarang, yang menjadi pertanyaan besarnya adalah, siapa yang akan diuntungkan dengan hadirnya proyek besar itu?
Apakah benar akan menguntungkan warga Jakarta dan sekitarnya, termasuk warga Bekasi dan Tangerang yang langsung berbatasan dengan wilayah pesisir Jakarta?
Atau sebaliknya, hanya segelintir orang saja dapat mengambil keuntungannya? Misalnya pengusaha, orang-orang berduit yang menjadi konsumennya, dan para penguasa yang haus materi?
Inilah yang sebaiknya menjadi pertimbangan besar. Sebab, jika hal ini tidak dipikirkan lebih jauh lagi, sebelum terlanjur basah terendam air asin, maka dampak buruknya akan dirasakan oleh semua. Menurut Muslim Muin, Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), proyek itu kurang berguna untuk mengatasi banjir. “Tanggul laut raksasa justru akan memperparah banjir Jakarta, merusak lingkungan laut, dan mempercepat pendangkalan sungai,” katanya.
Bendungan raksasa di mulut-mulut sungai, menurut Muslim, akan memperlambat aliran air dan mempercepat pendangkalan, yang pada akhirnya memperparah banjir ke bagian hulu.
Sohei Matsuno, profesor asal Jepang yang mengajar di sebuah universitas Palembang, mengatakan proyek itu “sebuah fantasi yang mudah dibayangkan, tetapi tidak layak dilaksanakan”. Dalam makalah berjudul “Jakarta Flood Prevention With a True Cause”, Sohei menilai proyek itu sangat mahal. Pertama, fondasi tanggul laut Teluk Jakarta lebih dalam ketimbang tanggul Afsluitdijk di Belanda. Artinya, memerlukan biaya jauh lebih besar. Demikian pula biaya pengurukan pulau-pulaunya.
Kedua, menurut Sohei, akan sangat mahal pula biaya ekonomi dan sosial untuk memindahkan berbagai pemangku kepentingan di situ, termasuk nelayan dan mereka yang bertumpu hidup pada ekonomi pesisir.
Sohei memperkirakan, harga tanah di pulau-pulau buatan itu bisa mencapai Rp 40 juta per meter persegi sebagai akibat mahalnya biaya pembangunan proyek. Investor swasta yang terlibat hampir mustahil menyediakan lahan murah untuk orang-orang miskin yang tergusur. Mereka akan membangun pasar real estate kelas atas.
Lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan menilai pembangunan ini hanya modus melindungi properti perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite. Sebaliknya, dua pelabuhan ikan tradisional akan ditutup dan puluhan bahkan ratusan ribu warga nelayan harus dipindahkan.
PENUTUP
Pertimbangan ekosistem lingkungan harus dilakukan betul-betul secara berhati-hati. Tidak harus dipaksakan membangun daratan kering seluas-luasnya. Penyediaan konservasi lahan hutan bakau dan hutan pantai (termasuk menanam pepohonan akar dalam di permukiman) justru harus menjadi prioritas perlindungan lingkungan pantai, rehabilitasi kerusakan ekosistem yang dipangsa maupun terkena dampaknya harus dirancang dan dilaksanakan sejak dini. Pemkab Tangerang harus menyiapkan program antisipasi perubahan layanan sosial termasuk menyiapkan pengaturan calon daratan tersebut agar tidak menjadi pemicu konflik horizontal sosial di masyarakat.
Terlepas dari prematurnya sosialisasi reklamasi ke masyarakat, kita berharap segera dapat memeroleh kesungguhan perencanaan komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder dan pelaksanaan obyektif suatu studi dan kajian hingga implikasi lingkungan, yang benar-benar dapat diandalkan untuk mendasari suatu keputusan penting bagi implementasi pembangunan Kabupaten Tangerang yang integral dalam bingkai kesejahteraan masyarakat.
Kita berharap Aparat penegak Hukum seperti Kejaksaan dan KPK pun mau turun tangan dan memberi sanksi hukum terhadap oknum pengembang dan koorporat serta pihak Pemerintah yang punya potensi melakukan dugaan pelanggaran pelanggaran hukum dalam skandal Reklamasi ini.
Dengan adanya hikmah dari pengungkapan kasus skandal reklamasi Jakarta oleh KPK ini, diharapkan para pembuat kebijakan Kabupaten Tangerang tidak membuat kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi, kebijakan publik harusnya memiliki kepentingan terhadap publik bukan kepentingan satu golongan saja. Bisa dibayakan bahwa kebijakan publik diciptakan hanya untuk kepentingan orang tertentu dan segelintir orang demi kepentingan golongan tertentu saja.
*)Penulis adalah Pemerhati Reklamasi, tingal di Tangerang
0 Response to "Sengkarut Reklamasi Kini Senyap"
Post a Comment