Oleh: BAEHAQI*
Mendengar
kata ‘radikalime’ langsung membawa memori kita kepada hal-hal yang bersifat kekerasan,
perlawanan dan kekacauan. Radikalisme seolah menjadi momok menakutkan dan menjadi
musuh utama negarab angsa (nation state).
Tidak sedikit orang yang mengaitkan radikalisme dengan faham keagamaan,
khususnya agama Islam, dan kemudian diarahkan ke dalam bentuk aksiterorisme.
Walau sesungguhnya sumbu radikalisme itu sendiri bisa lahir dari faham politik,
faham ekonomi, faham budaya dan sebagainya. Wajah lain radikalisme juga sebagai
akibat dari fragmentasi sosial dan etnisitas.
Seperti
halnya radikalisme dalam konteks politik, pertama kali digunakan oleh Charles James Fox
tahun 1797, ia mendeklarasikan "reformasi radikal"
sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan
yang mendukung reformasi parlemen (encyclopedia
britannica). Kemudian radikalisme dalam faham keagamaan, terinspirasi dari tulisan
Sayyid Quthb yang berjudul Al-’Adâlah
Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm. Gagasan-gagasannya menjadi sumber
bangkitnya pemikiran radikal, menjadi percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi
Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau
di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari kehari terus berkembang.
(lihat Al ‘Adâlah
Al-Ijtimâ’iyah fil Islam: 182)
Di Iindonesia,
radikalisme dinisbahkan kepada gerakan kaum Padri di Minangkabau Sumatera Barat
– pada saat itu Islam di Minangkabau masih berada dalam kekuasaan Adityawarman di
bawah perlindungan Majapahit (Azyumardi Azra) - - bahkan normativitas gerakannya
sering diidentikan dengan gerakan Wahabi di Timur Tengah. Kekerasan dalam gerakan
kaum Padri tidak hanya bersifat ideologis-teologis semata, namun juga tidak menutup kemungkinan kekerasan yang
dilakukannya di luar batas ajaran agama. Padahal sejak masuk ke Minangkabau,
Islam yang tumbuhkembang di sana adalah Islam sufistik, sarat dengan nuansa emanasifilosofi
ssufistik (Elisabeth E. Graves: 2007
dalam Abd A’la : 2008)
Kemudian radikalisme
yang terjadi di Surakarta sejak pertengahan abad 18, muncul konflik pemberontakan
etnik Cina yang dipimpin Mas Garendi alias Sunan Kuning pada 30 Juni 1742
terhadap Karaton Kartasura yang memaksa Paku Buwana II, raja Mataram kala itu,
melarikan diri. Konflik ini berlanjut pada tahun 1916 yaitu konflik Jawa-Cina
yang dipimpin oleh Tirtoadhisoerjo dan Martodharsono sebagai reaksi Sarekat
Islam (SI) atas perilaku kaum muda Cina yang memuakkan etnik Jawa. Mereka mengubah
penampilan seperti sinyo, berpakaian gaya Barat dengan kuncir dipotong. Contoh berikutnya
adalah Gerakan DI/TII yang terjadi di Aceh pada tahun
1953 serta ISIS yang saat ini sedang menjadi isu hangat.
Merujuk pada aspek geneologi
dan sejarahnya,
kata “radikalisme” mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu,
baik ilmu politik, ilmu sosial, ilmu budaya, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah
radikal bebas. Umumnya radikalisme muncul akibat
ketidakpuasan terhadap kebijakan penguasa, konflik ekonomi, konflik antarlembaga,
konflik agama, konflik kekuasaan politik, konflik perbedaan budaya, konflik antarpribumi
dan non-pribumi, konflik kesenjangan pendidikan
dan sebagainya (Nurhadiatomo:2004).
Radikalisme juga cenderung bercorak keagamaan lokal
yang secara langsung berhadap-hadapan dengan misi demokratisasi dan HAM. Islam
kemudian telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok radikal, dan kemudian berujung
kepada terorisme yang menyudutkan umat Islam serta membebani psikologi umat
Islam di seluruh belahan dunia.
Radikalisme dan terorisme disinyalir telah merambah ke
dalam konteks pengkultusan, hal ini terlihat dari statemen Fealy dan Hooper,
sebagaimana dikutip ulang dari tulisan Abu Rokhmad tentang Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal, bahwa:
“Radical Islam refers
to those Islamic movement that seek dramatic change in society and the state.
The comprehensive implementation of Islamic law and the upholding of “Islamic
norms’, however defined, are central elements in the thinking of most radical
groups. Radical Muslims tend to have a literal interpretation of the Qur’an,
especially those sections relating to social relations, religious behavior and
the punishment of crimes, and they also seek to adhere closely to the perceived
normative model based on the example of the Prophet Muhammad. Greg Fealy and
Virginia Hooker (ed.), Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary
Sourcebook, (Singapore: ISEAS, 2006)”.
Dalam pengertian bebas dinyatakan bahwa
radikalisme Islam mengacu kepada gerakan Islam untuk mencari perubahan dramatis
dalam masyarakat dan negara, guna melaksanakan hukum Islam secara komprehensif dan
menegakkan norma-norma Islam. Oleh karena itu, Muslim radikal cenderung memiliki
penafsiran literal terutama yang berkaitan dengan hubungan sosial, perilaku keagamaan,
dan hukuman kejahatan dengan model normatif berdasarkan contoh dari Nabi
Muhammad.
Secara historis, yang menjadi penopang
radikalisme adalah adanya anggapan bahwa umat Islam tidak diuntungkan dengan peradaban
global, sehingga menimbulkan alergi berlebihan terhadap simbol-simbol Barat
(westernisasi). Padahal sesungguhnya, Islam adalah agama kosmpolitan, agama
yang mengajarkan kebaikan kepada seluruh umat manusia (rahmatan lilalamin, QS. Al-Anbiya; 107). Agama kosmopolitan bermakna
bahwa umat Islam harus mampu merefleksikan ideologi agamanya di tengah-tengah masyarakat
yang heterogen, yaitu masyarakat yang sangat kompleks,
baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya, nilai dan norma
hidup.
Sebagai langkah
antisipatif terhadap polarisasi radikalisme dan terorisme khususnya di
Indonesia, semua komponen bangsa berlomba melakukan aksi-aksi nyata menyuguhkan
pemahaman yang komprehensif tentang hakekat berkehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Di mulai dari lingkup keluarga, institusi formal dan non formal (lembaga pendidikan),
organisasi keagamaan, termasuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), khususnya
Orda Kota Tangerang, dituntut mampu merefleksikan kehadirannya melalui aksi nyata,
sampai kepada institusi kenegaraan. Karena sesungguhnya, menurut Ibnu Taimiyah, manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun),
mereka berkumpul untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang mashlahat.
Semua aksi nyata tersebut
tidak hanya bertumpu kepada kecerdasan akal semata, tetapi juga berorientasi untuk
menumbuh kan kecerdasan spiritual di setiap individu. Sekolah dan pesantren dapat
bergan dengan tangan dalam merekonstruksi kurikulum pengajarannya dengan memasukkan
nilai ajar pluralisme, lembaga keagamaan dan ormasy juga memiliki peran vital
dalam mengkampanyekan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang aman dan damai.
Terlebih lembaga pemerintahan, walau sudah ada lembaga yang
bernama Foreign Terorisme Fighters (FTF)
atau teroris antarnegara. Dirasa masih perlu melakukan rekayasa strategi penanggulangan
radikalisme dan terorisme.
- Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang, serta Wakil Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Kota Tangerang
0 Response to "Radikalisme, Geneologi dan Romantisme Sejarahnya"
Post a Comment