Warga Tangsel Ingin Pemimpin Hebat!

Memilih Pemimpin Hebat di Tangerang Selatan
Oleh: Baihaqi

Kata ‘hebat’ memiliki konotasi yang subjektif bergantung dari sudit pandang kita memaknai kata tersebut, ‘hebat’ (kehebatan seseorang) bisa diukur karena prestasi nya selama memimpin, bisa juga dinilai karena kemampuannya menyelesaikan persoalan-persoalan rumit, bahkan kata ‘hebat’ juga bisa disematkan karena faktor kedekatan personal. Agar ‘hebat’ disini paling tidak mendekati nilai objektif, maka penulis perlu memunculkan dua kategori ‘hebat’ secara umum. Pertama, seorang pemimpin dapat dikatakan ‘hebat’ karena ia mampu keluar dari berbagai tekanan politik selama menjabat, artinya pemimpin dapat dikatakan ‘hebat’ karena ia memiliki segudang “pengalaman”. Kedua, pemimpin akan menjadi ‘hebat’ karena ia memiliki “pengetahuan” secara mendalam. Baik “pengalaman” maupun ‘pengetahuan’ adalah proses-proses yang didapat dengan cara yang arif dan bijaksana, suatu keinginan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (baldah toyyibah wa rabb al-ghofuur).

Sejarah menyebutkan, pemimpin hebat seperti Jullius Cesar di Roma, Abraham Lincoln di Amerika, Soekarno-Hatta di Indonesia, Jalal ud-Din Muhammad Akbar the Great di India, Catherine The Great di Rusia (tokoh politik wanita abad ke-18), Siti Khadijah ra, Aisyah ra, Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah SAW, Nusaybah binti Ka’ab (pemimpin wanita Islam dalam perang uhud), Al-Malika al-Hurra Arwa al-Sulayhi (pemimpin dan ratu Yaman sekaligus intelektual wanita) di jazirah Arab - - walau disebut belakangan namun tokoh-tokoh wanita ini mengilhami kelahiran wanita hebat di dunia, termasuk ibu kita. Mereka semua adalah tokohtokoh yang ber “pengelaman” dan ber “pengetahuan” luas.

Dan kemudian dari rahim ‘ibu’ itulah lahir wanita-wanita hebat modern seperti Condolezza Rice di Amerika, Wu Yi di China, Yulia Tymonshenko di Ukraina, Gloria Aroyyo di Philipina, dan Sinta Nuriyah Wahid (lihat. Ensi Tokoh Indonesia, The Journalistic Biography) di Indonesia. Sulit disangkal bahwa tokohtokoh tersebut lahir memang karena faktor “pengalaman” dan “pengetahuan” nya bukan karena faktor keberuntungan semata, kedua hal tersebut yang kemudian membedakan pemimpin hebat dengan manusia biasa lainnya.

Pengalaman dan pengetahuan pada akhirnya menentukan cara pandang pemimpin, karena cara pandang dapat meneguhkan visi dan karakter pemimpin, cara pandang sekaligus menguatkan cara berfikir seorang pemimpin. Pengalaman (empiria/empirik/experience /expeur) disini merupakan pengalaman eksternal, yakni hasil pengamatan di masa lampau yang digabungkan dengan pesona kepemimpinan serta teruji secara neotik (diperoleh berdasarkan pemahaman terhadap realita yang faktual).

Dalam hal ini John Locke menganggap pengalaman sebagai asal dari semua ide, seseorang yang sudah berpengalaman memimpin maka ia dapat mengetahui dan menentukan secara intensif cara menghadapi suatu peristiwa atau fenomena. Haidar Bagir menyatakan, pengalaman adalah sebuah dunia yang dipersepsi atau labenswelt (Edmunt Russel). Sedang menurut Ibnu Miskawaih dalam kitab Tahdzibul achlaq wa tathhirul a'raaq (Akhlaq dan Politik) antara lain menegaskan bahwa pengalaman mampu membentuk karakter seseorang secara murni serta dapat menghidupkan daya berfikir (al-nafs al-nathiqah) lebih cemerlang. Untuk itu, kebutuhan akan pemimpin yang memiliki pengalaman dianggap sebagai; “a principle, standart, or quality regarded as worthwhile or desirable”, suatu nilai kumulatif yang dipandang bermanfaat dan diperlukan dalam mengelola pemerintahan.

Tantangan memimpin kota Tangerang Selatan tentunya lebih pelik dibanding kota-kota lainnya di provinsi Banten, selain sebagai kota termuda yang membutuhkan pengelolaan secara profesional, kota Tangerang Selatan juga dihadapkan pada daya saing peningkatan potensi alamiah nya (SDA dan SDM). Letaknya yang bersentuhan langsung dengan perbatasan provinsi Jawa Barat (Depok dan Bogor/Parung) serta provinsi DKI Jakarta (Ciputat-Lebak Bulus), menjadikan kota Tangerang Selatan sebagai satusatunya duta provinsi Banten dalam hal persaingan global. Titik akurasi agar kota Tangerang Selatan mampu memunculkan kualitas dalam persaingan global tersebut, adalah dengan memiliki pemimpin yang sarat pengalaman, pemimpin yang memahami manajemen pemerintahan kota Tangerang Selatan, dan pemimpin yang memahami kultur-geografis wilayah kota Tangerang Selatan.

Maka menjadi menarik perhelatan pemilukada 2015 di kota Tangerang Selatan ini, seluruh pandangan dari berbagai penjuru di Indonesia mengarah ke kota Tangerang Selatan sambil menanti hasil akhir pencapaian pemungutan suara. Kandidat-kandidat yang ada tentunya memiliki segudang kelebihan, mereka semua merupakan kader terbaik yang dilahirkan dari rahim ‘ibu’ untuk menjadi panutan masyarakat kota Tangerang Selatan lima tahun ke depan. Hal ini nampak dari tiga pasangan cawalkot TangSel yang merupakan seorang ibu; Ikhsan Modjo memilih Li Claudia Chandra sebagai wakilnya (wanita asal Dabo Singkep yang memiliki keahlian dibidang kuliner), Arsid juga memilih wanita bernama dr. Elvier Aliadiannie sebagai wakilnya (wanita asli Jawa Timur yang berprofesi sebagai dokter), dan Hj. Airin Rachmy Diany wanita asal Banjar yang menguasai bidang keNotariatan memilih kembali H. Benyamin Davnie sebagai wakilnya, putra asli Pandeglang-Banten.

Wanita-wanita tersebut adalah putri terbaik bangsa yang multi talenta. Rekam jejak merakalah yang kemudian menempatkan mereka sebagai kandidat calon walikota dan calon wakil walikota Tangerang Selatan. Keunikannya, dibanding dua wanita yang menjadi wakil Ikhsan Mojo dan Arsid, Hj. Airin Rachmy Diany, mewakili kaum perempuan Indonesia, muncul kembali sebagai calon walikota Tangerang Selatan. Tentunya sebuah semangat juang yang perlu diapresiasi secara positif oleh masyarakat luas, khususnya masyarakat kota Tangerang Selatan. Karena dalam satu rentangan sejarah, sedikit sekali kaum wanita yang berani memimpin orang banyak. Wanita-wanita tersebut merupakan perempuan pillihan dari hasil proses ‘pengalaman’ hidup bermasyarakat dan bernegara.

Jauh sebelumnya keterlibatan aktif perempuan dalam bidang sosial politik dan keagamaan telah mendapat legalisasi dari ulamaulama besar Islam, bahkan secara tersirat al-Quran Surah al-Hujurat ayat 13 mendudukan posisi perempuan pada kedudukan yang terhormat. Diperkuat oleh pendapat imam al-Ghazali dalam kitab Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat menyatakan bahwa perempuan sangat layak menempati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial, Mahmud Syaltut dalam kitabnya Taujihat al-Islam mengatakan bahwa Allah telah menganugerahkan perempuan potensi dan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Hingga kemudian Quraish Shihab juga mengomentari seputar keterlibatan perempuan dalam aktivitas sosial-politik, menurutnya jika konsideran bunyi ayat ar-rijalu qawwamuna 'alan nissa dilengkapi dengan kalimat terakhir dari ayat tersebut ‘fala tabaghu ‘alaiyhinna sabiilan’, ruang bagi perempuan untuk memimpin telah terlindungi secara normatif (QS. 4: 34).

Kesiapan kembali Hj. Airin Rachmi Diany sebagai cawalkot TangSel, mungkin menjadi inspirasi lahirnya wanita hebat dunia dari kota Tangerang Selatan. Kehadiran beliau mengingatkan kita pada sosok Christina Fernandez de Kirchner, presiden Argentina yang mampu keluar dari bayangbayang suaminya (Marcos). Mungkin inilah ruh semangat yang diwariskan oleh tokohtokoh wanita Indonesia seperti Cut Nyak Dien (Aceh), Dewi Sartika (Jawa Barat) dan Nyi Mas Melati (Banten). Ungkapan yang masih cocok pada konteks ini adalah maqalah ulama yang berbunyi; al-muhafadhatu ‘ala qadimi as-sholeh, wa al-akhdu fi jadidi al-ashlah, kebiasaan lama yang baik dapat kembali dipertahankan jika membawa kemashlahatan.

Satu hal yang sulit dihindarkan dari hajatan pemilukada adalah model ‘black campaign’, upaya pembunuhan karakter yang dihembuskan oleh oknum pesaing guna memuluskan tujuannya. Black Campaign bukan hanya menyangkut pendiskreditan seseorang karena masalah hukum, tetapi juga dapat dihembusan karena isuisu gender, feminimisme, bahkan lebih jauh berdampak pada aspek moralitas atau pencemaran nama baik (charachter assasination). Padahal klaim tentang perilaku moral (moral behavior) dan perilaku tidak bermoral (immoral behavior) bergantung kepada kepribadian seseorang (yakni pada perkembangan intelektualnya), dan juga karena ketidakmampuannya memenuhi dan mematuhi harapan kelompok sosial lainnya. Dalam hal ini, klaim bermoral (morality) atau tidak bermoral (immorality) tentu saja dapat dibumbui bahkan dapat dipolitisir.

Perbedaan pandangan dan sikap politik (political view) dalam hajat seperti pemilukada tentunya dapat ditempatkkan sebagai dinamika kehidupan sosial politik, bukan kemudian menjadi ajang untuk saling menjatuhkan. Bambang Sugeng, Kepala Puskasi Bandung menyatakan; “Pengalaman umum, yang diperkuat oleh kesaksian sejarah menunjukkan bahwa relasi sosial yang ditandai dengan kompetisi yang tidak terkendali dapat berkembang menjadi penentangan; dan jika penentangan ini menegang tajam akan memunculkan konflik”. Kata konflik, berasal dari bahasa Latin confligere, yang berarti saling memukul. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat difahami sebagai suatu “proses sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Untuk itu ‘pengalaman’ akan semakin bermanfaat jika ditopang dengan ‘pengetahuan’, yakni cara pandang dan cara berfikir pemimpin ditengah-tengah persoalan kemasyarakatan yang demikian kompleks. Asal pengetahuan didapat dari pengalaman, pengamatan dan pemahaman terhadap fenomena, pengetahuan terbentuk karena adanya keinginan membangun sistem ide ke dalam tindakan. Pengetahuan kemudian melahirkan satu nilai aksentuasi yang berpedoman kepada kepentingan bersama, sehingga atas dasar inilah masyarakat secara bersamasama dapat menentukan pilihannya.

*)Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Warga Tangsel Ingin Pemimpin Hebat!"

Post a Comment