Mengenal Sosok Ketua MUI Kota Tangerang, KH Edi Junaedi Nawawi



KH Edi Junaedi Nawawi, Ketua MUI Kota Tangerang

Mudah tersentuh dan tidak tega bila melihat orang yang kesusahan, tidak ingin warga di sekitar lingkungannya mengeluh keluar karena tidak ada biaya untuk sekolah anak. Adalah seorang pria yang selalu tampil dengan kesederhanaannya, akan tetapi tidak menghilangkan kewibawaan dan kharismatiknya.

Beliau adalah seorang tokoh agama yang disegani dan dihormati di kota yang punya motto Akhlakul Karimah. Anak pertama dari delapan bersaudara pasangan H Nawawi dan Hj Siti Khodijah, lahir di Rajeg yakni sebuah desa di belahan utara Kota Tangerang, 9 Syawal 1356 H bertepatan dengan 12 Desember 1937.

Bagi Masyarakat Kota Tangerang, nama KH Edi Junaedi Nawawi bukan sosok asing di kota yang bertajuk Akhlaqul Karimah ini. Ia kini dipercaya oleh Masyarakat Kota Tangerang untuk mempimpin organisasi masyarakat terbesar di Indonesia. Sejak tahun beliau 2005 sampai sekarang, beliau adalan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia kota Tangerang yang telah menjabat selama dua priode 2005-2010, dan 2010 – 2015.

Kakek dari dua puluh dua orang cucu dan delapan orang anak yaitu : Milkah Kholidah, Mulkah Khumaidah, Mulki Sabri, Sobrun Jamili, Mulkan Rahendra, Muluk Najmudin, Lubna Hadidah dan Waladah Khotimatul Ulya, masih tetap semangat dalam berdakwah dan tidak bisa berdiam diri. Walaupun kadang dalam keadaan kurang sehat, beliau akan selalu datang menghadiri undangan karena tidak ingin mengecewakan pengundangnya.

Suami dari Hj Siti Napsiah (alm), sekarang didampingi oleh ibunda Hj Enong Rosminah yang selalu mendampingi beliau sehari-hari, apalagi pada waktu Abah kurang sehat dan dirawat di rumah sakit. Abah adalah panggilan akrab KH Edi Junaidi Nawawi sehari-hari. 

Masa kecil Edi Junaedi dihabiskan di tanah kelahirannya – Rajeg – hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakyat (SR – kini SD). Menginjak duduk di kelas empat, ia tinggal dengan bibi (encing) Gerendeng. Setamat SR, tahun 1951 Edi Junaedi kecil meneruskan pendidikannya ke SMP 5 di jalan Dr Sutomo, Jakarta. Kemudian tahun 1953 ia melanjukan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi. Ia masuk menjadi siswa di SMA 4 Jl Batu, Gambir, Jakarta.

Pendidikan agama diperoleh sejak SMP, ia tinggal dan sekaligus menggali ilmu di pesantren KH Tubagus Mansyur Ma’mun di daerah Galur, kawasan Senen, Jakarta. Tak puas dengan bekal pendidikan agama yang diperoleh sebelumnya, maka ia melanjutkan ke jenjang pendidikan SMA juga menjadi santri pondok pesantren KH Muhammad Darip.

“Tiap kamis malam KH Zawahir dari Buntet, Cirebon datang memberikan pelajaran kepda para santri di situ. Jumat subuh Kyai Zawahir ceramah di RRI,” kenang Edi Junaedi.
 
Setelah lulus SMA tahun 1957, kemudian ia melanjutkan kuliah ke Pendidikan Pengatur Tehnik Telekomunikasi (setingkat akademi D3) di bawah naungan Kandatel I Jakarta. Pada masa itu PT Telkom masih bernama PTT.

Dengan latar belakang pendidikan akademi di bidang telekomunikasi, tahun 1960 – 1962 Edi Junaedi muda dipercaya menjadi Kepala Kantor Telepon Tangerang. Selama dua tahun ia menjadi pucuk pimpinan kantor telekomunikasi di tanah kelahirannya, kemudian ia dipercaya kembali oleh jawatan tempat bekerjanya di posisi yang sama namun beda wilayah yakni di Bekasi selam satu tahun, 1962 – 1963, lalu selama satu tahun di wilayah Depok masih jabatan yang sama pula.

Memasuki tahun 1964, Edi Junaedi pindah kerja. Kali ini ia bekerja pada sebuah proyek pembangunan pabrik baja berskala raksasa di Cilegon milik pemerintah RI yang dananya dibiayai dari hasil pampasan perang. Pabrik itu awalnya bernama Pabrik Baja Trikora Cilegon dan kini PT Krakatau Steel. Di sini, ia bekerja selama tujuh tahun (1964 – 1971).

Lepas dari situ (1971), Edi Junaedi banting stir kehidupan. Awalnya pekerja, maka pada tahun ini ia berusaha meraih peruntungan hidup dengan membuka usaha sendiri. Berbekal relasi dan sedikit modal hasil tabungannya, ia mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan bahan bangunan dan elektronik dengan bendera usaha CV Gurinda.

Gedung MUI Kota Tangerang
Edi Junaedi tidak bisa berdiam diri, selain sebagai pegawai beliau juga aktif diberbagai organisasi. Terbukti pada tahun 1964 – 1971 sebagai Ketua Sarbumusi (Serikat buruh Muslimin) di bawah naungan Nahdlatul Ulama. Pada tahun yang hampir bersamaan yaitu tahun 1966-1971 menjadi ketua Anshor di Serang.

Tahun 1989 bagi Edi Junaedi merupakan titik awal dirinya berkiprah menebarkan ilmunya lebih luas di masyarakat Tangerang. Ketika itu dalam satu kesempatan penataran P4 di Tangerang, ada sesi Tanya jawab antara peserta dengan penatar. Salah seorang peserta bertanya kepada penatar, “kenapa para TKI yang dikirim ke Arab Saudi itu bukan berasal dari lulusan Aliyah?”

Para penatar mendapat pertanyaan demikian– di antaranya rektor Unis pada saat itu - terlihat bingung untuk menjelaskannya. Sampai beberapa saat pertanyaan dari salah seorang peserta penataran P4 tersebut tak terjawab. Di ujung acara sesi tanya jawab, Edi Junaedi memberanikan diri mengacungkan tangan minta ijin kepada penatar untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab itu.

Dengan penuh percaya diri dan bak penatar, Edi Junaedi lantas menjawab pertanyaan itu dengan gamblang dan rinci.

 “Pertama, ke luar negeri harus pakai visa. Kedua, harus punya keahlian atau skill sesuai dengan bidang yang dibutuhkan di tempat tujuan kerja,” jelas Edi Junaedi.

Dua hari setelah kesempatan itu, dirinya dipanggil oleh rektor Unis pada saat itu. diminta untuk menjadi dosen di perguruan tinggi paling tua di Tangerang tersebut. Semula dirinya sempat menolak tawaran tersebut karena merasa ia belum pantas untuk menjadi pengajar di perguruan tinggi. Namun oleh rektor ia diyakinkan bahwa dirinya mampu dan bisa menjadi dosen di situ. Setelah fikir-fikir dan sholat istikharah, tawaran itu ia terima.

Sejak dirinya bisa menjawab pertanyaan itu, ia direkomndasikan oleh rektor Unis untuk mengisi ceramah agama di sejumlah tempat di wilayah Tangerang. Pertama ceramah ia di Pemkab Tangerang. Saat itu hadir seluruh pejabat di lingkup Kabupaten Tangerang. Di kesempatan itu ia menguraikan soal korupsi dengan nada bicara tegas, lugas dan mengena. Ia menyampaikan sesuai ayat Alqur’an dan hadits. Dari situ Edi Junaedi mulai diperhitungkan sebagai salah seorang tokoh agama yang mumpuni. 

Kiprahnya di masyarakat Tangerang terus melebar, tahun 1989 – 1997 ia menjadi pengurus masjid agung Al- Ittihad. Dalam dunia pendiikan ia pun mendirikan yayasan Sabilul Falahiyah. Yayasan ini menaungi madrasah dan majelis ta’lim.

Seiring derap laju pembangunan Kota Tangerang, maka pemerintah kota setempat membangun saran ibadah nan megah dan luas bagi kaum muslim di dekat komplek pusat pemerintahan kota itu. Tahun 1997 masjid raya Al-‘Azhom dibangun oleh pemerintah Kota Tangerang. Edi Junaedi dipercaya sebagai wakil ketua bidang tehnik panitia pembangunan masjid raya Al-‘Azhom.

Setelah selesai pembangunan masjid termegah di Banten itu, tahu 2003 - 2010 ia diberi amanah menjadi Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al-‘Azhom. Kini, telah lima tahun ia dipercaya oleh masyarakat Kota Tangerang sebagai imam besar masjid raya Al-‘Azhom.

Dalam organisasi masyarakat Nahdlatul ‘Ulama, khususnya wilayah Banten, KH Edi Junaedi salah satu tokoh terkemuka. Pada 2003-2008 ia mendapat amanah sebagai Ro’is Am NU Provinsi Banten. Sejak 2008 hingga sekarang ia mendapat kepercayaan sebagai anggota Mustasar NU Banten. Kini, sejak 2005 - 2010 dan 2010 – 2015 ia diberi amanah oleh para ulama Kota Tangerang untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang.

Selama dirinya memegang amanah sebagai Ketua MUI Kota Tangerang, tantangan yang dirasa cukup berat adalah mengajak masyarakat untuk meramaikan dan memakmurkan masjid.Tantangan berikutnya yakni memerangi lingkaran syethan berupa kebodohan dan kemiskinan dan masih rendahnya tingkat disiplin umat Muslim.

  •   Ida Rosidah

          

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengenal Sosok Ketua MUI Kota Tangerang, KH Edi Junaedi Nawawi "

Post a Comment