Munculnya calon perempuan dalam Pilkada sebenarnya bukan hanya di Tangsel, tapi juga banyak di beberapa daerah seperti Serang, Pandeglang, Surabaya, Karawang dan lainnya. Secara faktual, ini fenomena yang baik dalam perspektif demokrasi yang biasanya kaum perempuan termarginalkan dalam kontestasi pemilu.
Apalagi selama ini
dikenal adagium bahwa mengurus politik tidak sama dengan mengurus rumah
tangga. Peremuan bisa sukses mengurus rumah tangga, tapi tidak di
politik. Begitulah adagium yang berkembang berkait dengan dunia politik.
Termasuk juga saat dimulainya proses penentuan calon dalam Pilkada yang
terjadi selama ini nyaris tak menyentuh kaum perempuan.
Pemerhati Politik yang juga Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Tangerang, Jazuli Abdillah menyampikan pokok-pokok
pikirannya pada acara coffe morning bersama para aktivis
perempuan di Tangsel dalam rangka refleksi terhadap Pilkada Tangsel 2015
pada Minggu pagi, 25 Oktober 2015 di Alam Sutra, Tangsel.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pada Pilkada serentak kali ini, kaum perempuan seolah melawan
hegemoni politik patriarkat bahwa kekuasaan berada di tangan laki-laki
sebagai “imam” yang memimpin dengan kegagahan dan sekaligus bersama
otoritarianismenya. Bahwa kekuasaan sudah sepantasnya dan sepatutnya
berada dalam cengkeraman laki-laki.
Laki-laki yang mengatur jalannya
roda kehidupan, termasuk pemerintahan, sehingga hanya laki-laki yang
secara “kodrati” layak memimpin kaumnya. Itulah wajah politik yang
bersifat maskulin tersaji di berbagai arena perpolitikan kita.
Karena itu, gerakan perempuan selama ini memandang institusi negara
secara skeptis sebagai institusi yang merawat, mempertahankan, dan
memelihara dominasi patriarkat dalam arena politik.
·
"Jadi, belakangan terjadi fenomena tumbuhnya kesadaran politik
untuk melakukan transformasi politik di level institusi negara, agar
lebih sensitif terhadap kepentingan kaum perempuan dan munculnya
kesadaran akan kesetaraan gender diperjuangkan oleh agensi politik yang
memperjuangkannya. Perjuangan perempuan di pemilukada merupakan
perjuangan melawan hegemoni politik patriarkat," ungkap Jazuli Abdillah yang bekerja juga sebagai Staf Ahli di Komisi II DPR RI. .
Mereka melawan dengan
cara menghindari politik yang berbasiskan konfrontasi. Mereka
menggunakan konsep “struggle from within” daripada melalui pola
“struggle from outside the dominant ideology”.
Dari segi aturan dan sistem pemilukada yang dipilih langsung,
peluang perempuan semakin terbuka untuk terlibat. Namun, dari aspek
kuantitas, perempuan baru bermunculan sebagai kandidat pada pemilukada
2010 an, sebuah fenomena yang juga menimbulkan pertanyaan.
Jazuli Abdillah menguraikan paling tidak ada tiga hal penting dalam proses kandidasi
perempuan berkompetisi pada Pemilukada. Keikutsertaan perempuan dalam Pemilukada mengisyaratkan akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik.
Akseptabilitas perempuan dalam jabatan publik setidaknya ditentukan
oleh beberapa aspek.
Pertama, perempuan setidaknya telah memiliki ambisi personal,
sebuah tahapan yang penting untuk mendapatkan kekuasaan politik. Kedua,
adanya peluang jabatan yang memungkinkan perempuan muncul sebagai
kandidat politik. Dalam konteks ini perempuan setidaknya memiliki
estimasi sumber-sumber politik sehingga bisa mengkampanyekan dirinya
dalam proses kandidasi. Ketiga, dukungan organisasi politik yang
memungkinkan perempuan dicalonkan oleh partai politik. Dukungan menjadi
sangat penting untuk membantu perempuan memutuskan untuk mendapatkan
jabatan. Faktor determinan lain yang memengaruhi kandidasi perempuan
dalam Pemilukada adalah ihwal motivasi, modal ekonomi, modal sosial, dan
modal politik.
"Keempat faktor ini secara berkelindan saling memberi
pengaruh. Seorang kandidat tak bisa hanya mengandalkan salah satu faktor
saja untuk diusung, kemudian memenangkan kontes," jelasnya.
Dalam konteks Pilkada Tangsel yang memunculkan 50 % kandidat
perempuan bisa dilatari oleh hal di atas. Terlebih dari 939.674 jumlah
pemilih sementara ini, sebaran pemilih terbanyak dari kalangan
perempuan. Pemilih perempuan dari tujuh kecamatan sebanyak 471.277
orang, sementara pemilih sementara laki-laki sebanyak 468.397.
"Jadi,
sumbangan pemilih perempuan lebih besar dari jumlah laki-laki. Tapi,
jangan salah dalam sistem demokrasi elektoral karakter pemilih itu tidak
linier, misalnya pemilih perempuan pasti memilih calon perempuan," beber Jazuli Abdillah.
Kasus Tangsel lebih cenderung faktor pragmatis Parpol yang
hanya sekadar ingin mengimbangi kandidat incumbent (Airin) maka harus
perempuan lagi yang dicalonkan, atau ingin merebut hati pemilih
perempuan maka harus dengan calon perempuan. Strategi dan cara berpikir
ini tidak tepat. Terlebih yang dimunculkan untuk melawan incumbent
(Airin) sosok perempuan yang dimunculkan biasa-biasa saja atau tidak
memiliki modal dan daya elektoral yang mumpuni, tentu akan banyak
hambatan.
- Ida Rosidah } Ateng Sanmusih
0 Response to "Jazuli Abdillah: Sumbangan Pemilih Perempuan Lebih Besar dari Jumlah Laki-laki"
Post a Comment