Menakar Peta Kekuatan Tiga Kandidat

Pilkada Kota Tangsel 2015
Menakar Peta Kekuatan Tiga Kandidat


Pilkada tahun ini harus sungguh-sungguh dijadikan sarana praktik berdemokrasi bagi masyarakat agar dapat membentuk kesadaran kolektif tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.


Hal itu perlu dipahami agar substansi pilkada sebagai sarana pembelajaran politik dan memperluas akses masyarakat untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan public, bisa terwujud di masa mendatang.Demikian diungkapkan Koordinator Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH), Aru Wijayanto kepada tangerangsatu.com. Untuk lebih jelasnya, kami telah mewawancarai pria yang juga pendiri Sekolah Antikorupsi Tangerang ini, Jumat (31/7/15) dalam sebuah perbincangan santai di Tangerang Selatan. Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Anda tentang situasi “pertarungan politik” pada Pilkada Kota Tangsel tahun ini?
Secara umum Pilkada Kota Tangsel tahun ini cenderung akan berlangsung ramai dan ketat, mengingat ketiga pasangan kandidat tampaknya sama-sama memiliki kans untuk unggul. Apalagi rival lama kembali tampil, yakni Arsid dan Airin, di mana keduanya pernah bertarung pada Pilkada 2010 silam.

Apakah bisa dijelaskan secara rinci peta kekuatan dan kelemahan tiga kandidat ini? Bisa dimulai dari Airin Rachmy Diany, bagaimana situasinya?
Ok, kita mulai dari Airin ya. Sebagai incumbent, tentu saja Airin merupakan kandidat yang paling diuntungkan situasi. Sudah menjadi rahasia umum, Petahana dapat “berkampanye” yang dikemas dalam kegiatan seakan-akan sedang melakukan tugasnya sebagai Wali Kota. Belum lagi dengan upaya mobilisasi birokrasi, walau hal itu menyalahi aturan. Saya tidak menuduh Airin bakal memobilisasi birokrasi pada Pilkada tahun ini, tapi hal itu pernah dilakukan Airin pada Pilkada 2010 silam dan berujung pada pilkada ulang karena dianggap melakukan kecurangan yang sistematif dan massif.
Sebagai politisi, Airinmerupakan kandidat paling populer dan tentunya juga punya basis massa tersendiri, terutama pada kelompok-kelompok majelis ta’lim dan jaringan birokrat. Meski demikian, Pilkada tahun ini akan terasa lebih berat bagi Airin. Pasalnya, ia punya titik lemah yang krusial, yakni persoalan korupsi yang melilit keluarganya. Selama ia memimpin Tangsel, setidaknya ada dua kasus korupsi yang sempat menjadi sorotan publik, yakni kasus korupsi Alkes RSUD dan kasus pengadaan lahan Puskesmas.
Permasalahannya, nama suaminya (Tb. Chaeri Wardana) muncul sebagai tersangka di dua kasus tersebut, meski penyidikannya dilakukan oleh dua instansi berbeda, yakni KPK dan Kejaksaan Agung. Padahal, saat ini suami Airin—serta kakak iparnya, Ratu Atut Chosiyah—juga tengah menjalani hukuman penjara dalam kasus yang sama, yakni penyuapan Ketua Hakim MK. Saya rasa, persoalan ini merupakan batu ganjalan terbesar dalam kampanye Airin di Pilkada mendatang, di samping permasalahan pelayanan publik lainnya di Kota Tangsel.
Kita ingat beberapa tahun ke belakang, tak lama ketika Chaeri Wardana ditahan KPK, nyaris seluruh proyek infrastruktur di Kota Tangsel terbengkalai. Kalau dipikir secara logis, apa urusannya bila suami Wali Kota ditangkap KPK lalu tiba-tiba banyak proyek yang tertunda pelaksanaannya?. Memang yang memimpin kota ini siapa?. Belum lagi dengan persoalan pungli serta buruknya kualitas pembangunan infrastruktur di Tangsel, juga akan menjadi sorotan publik dalam menilai sosok Airin sebagai kandidat.

Bila demikian, lalu apa “kelebihan” yang bisa dijual Airin untuk Pilkada ini?.
Yang jelas, modal kapitalnya kuat. Tapi buat saya, besarnya “amunisi” Airin bisa dianggap sebagai kelebihan, tapi sekaligus juga kelemahan. Kenapa menjadi kelemahan?.Jangan lupa, suami Airin saat ini juga sedang diusut KPK untuk kasus TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Ingat, Chaeri Wardana adalah terpidana korupsi yang kendaraannya paling banyak disita KPK, yakni mencapai 85 unit mobil. Jadi, penggunaan uang dalam jumlah besar pun tidak bisa dilakukan secara tenang. Bukan tidak mungkin bakal ada pihak-pihak lain yang akan bertanya-tanya, uang dari mana itu?. Jadi, secara umum, situasi Airin dalam Pilkada tahun ini relatif berat, kecuali bila ia benar-benar pandai mengubah persepsi khalayak—dengan segala cara—agar melupakan isu-isu negatif tentang dirinya dan keluarganya.

Lalu bagaimana dengan Ikhsan Modjo?.
Sebagai “pendatang baru”, Ikhsan Modjo bisa diposisikan layak untuk diperhitungkan. Satu hal yang paling kentara dari kampanye Ikhsan, sejak awal ia sudah mengawali kerjanya dengan tim konsultan yang profesional. Maka tidak heran bila kemudian ia bisa mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat dan Gerindra. Untuk basis massa, Ikhsan Modjo memang belum teruji. Namun bila melihat materi kampanyenya, ia sepertinya menyasar pemilih dari kalangan menengah dan menengah atas.
Dalam konteks Kota Tangsel yang multiculture, pilihan untuk membangun basis massa kelas menengah ini sebenarnya keputusan cerdas, selama ia punya kemampuan untuk memobilisasinya. Sebab kelompok massa ini tidak banyak yang terjebak pada money politic dan dapat diajak berfikir realistis. Kekuatan lain dari Ikhsan adalah kabarnya ia juga banyak didukung oleh kelompok NGO dan penggiat gerakan antikorupsi. Hanya saja, untuk menjadi seorang kepala daerah, tentu peningkatan popularitas serta elektabilitas tidak bisa diperoleh secara mudah dan singkat.
Artinya, Ikhsan perlu bekerja jauh lebih keras dari Airin dan Arsid untuk membangun popularitas serta dianggap electableoleh pemilih. Meski begitu, saya rasa Ikhsan berpeluang besar menjadi “kuda hitam” pada Pilkada Tangsel tahun ini.

Bagaimana dengan Arsid?
Arsid bisa dikatakan sebagai kandidat yang paling fenomenal di Pilkada Tangsel. Pada Pilkada 2010 silam, ia menjadi “kuda hitam” dengan perolehan suara yang tipis di bawah Airin. Kenapa saya menyebut Arsid sebagai kandidat fenomenal?.... karena sejak kemunculannya pada 2010, Arsid merupakan salah satu tempat berkumpulnya kelompok yang menolak meluasnya kekuasan “Dinasti Banten”. Arsid secara tegas mampu menjadi ikon perlawanan terhadap kelompok politik Atut Chosiyah di Kota Tangsel. Hal itu pula yang pada akhirnya membuat ia bisa memperoleh suara mengejutkan pada pilkada sebelumnya.
Meski situasi lima tahun lalu belum tentu sama persis dengan tahun ini, namun sebagai kandidat, Arsid masih memiliki basis massa yang kuat. Konon, walaupun kalah pada 2010, ia tetap merawat basis pendukungnya selama hampir lima tahun belakangan. Bahkan Arsidpunya kemampuan untuk diterima di dua kelas sosial, baik kelas bawah maupun kelas menengah. Potensi inilah yang menjadi salah satu kekuatan besar bagi Arsid untuk maju pada Pilkada tahun ini.
Kekurangannya, Arsid terlihat agak lemah pada soal penataan kampanye. Pada Pilkada 2010, kampanye Arsid berjalan secara sporadis serta tidak tertata dengan baik. Artinya, pada Pilkada tahun ini ia perlu mengubah model kampanye bila ingin perolehan suaranya bisa menjadi yang terbesar. Saya rasa, Arsid merupakan kandidat yang memiliki kans untuk menang paling besar, meski selisihnya bisa saja sangat tipis.
Bila sudah berjalan nanti, kemungkinan besar kelompok-kelompok yang menolak meluasnya Dinasti Banten akan kembali bergabung bersama Arsid. Diakui atau tidak, ia memang pernah menjadi ikon perlawanan terhadap kelompok Atut.

Apa yang dapat Anda sampaikan untuk masyarakat Kota Tangsel terkait Pilkada mendatang?.
 Sederhana saja, jangan tergoda politik uang  dan gunakan hak pilih Anda sebaik-baiknya dengan memilih kandidat yang tepat. Sebab, menyerahkan persoalan kepada yang bukan ahlinya, maka fantadziris-sya’ah: tunggulah kiamatnya.

(ateng sanusih/ida rosidah)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Menakar Peta Kekuatan Tiga Kandidat"

Post a Comment