Golput Menghantui Pilkada Serentak

Golput Menghantui Pilkada Serentak
Oleh Baehaqi*)
Pilkada Serentak 2015 boleh dikatakan sebagai moment paling bersejarah dalam sistem demokrasi di Indonesia, dan secara historis menjadi barometer kematangan perpolitikan bangsa Indonesia sebanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Hal yang paling menarik dari pilkada serentak adalah kemampuan penyelenggara pemilu dalam menekan angka golput. Karena episode pemilu di Indonesia selalu diwarnai oleh pemilih untuk tidak memilih alias golput (golongan putih), yang dalam konteks demokrasi modern golput dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Golput umumnya ditandai oleh tiga (3) hal; pertama pemilih tetap datang ke lokasi TPS tetapi tidak mencoblos satupun pasangan calon yang ada di kertas suara, kedua pemilih sengaja memberikan suara yang tidak valid/tidak sah dengan mencoblos semua gambar pasangan calon atau dengan cara mencoretcoret kertas suara, ketiga sengaja tidak datang ke bilik suara walau namanya tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Golput jenis ini disebabkan karena berbagai alasan dan faktor dari diri pemilih.
Selain itu, golput bisa juga disebabkan karena lemahnya sistem verifikasi data pemilih yang digunakan penyelenggara pemilu, lemahnya sosialisasi terkait untuk mengajak masyarakat memilih di TPS, kemudian ada jenis pemilih golput karena alasan teknis seperti keluarga meninggal, ketiduran, melangsungkan pernikahan, keliru mencoblos dan lainnya, serta adanya pemufakatan dari beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengajak orang lain tidak memilih atau  menggunakan hak pilihnya.
Untuk poin terakhir, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan  DPRD pasal 92, pasal 293 dan pasal 301, memberi peluang kepada penegak hukum untuk menjerat siapapun yang memaksa, mengajak, dan merayu seseorang untuk golput, termasuk mengajak golput melalui media social seperti facebook, twitter, path, dan lainnya.
Faktor golput boleh saja beragam, namun angka golput disetiap pemilu dapat dikatakan sebanding dengan suara yang diperoleh pasangan calon, seperti yang diungkap oleh Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Unpad bahwa potensi golput mencapai hingga 20% dari daftar pemilih tetap. Lain hal nya dengan rilis yang keluarkan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI), angka golput pada pemilu 2004 mencapai 23,34% dan meningkat menjadi 39,01% di pemilu 2009. Angka tersebut hampir merata di seluruh daerah pemilihan di Indonesia, yang sebagian disebabkan  karena tindakan sadar sebagai pilihan politik (golput politis) dan sikap protes karena tidak memercayai figur calon (golput ideologis).
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa keberadan kelompok golput lambat laun dapat menjadi kandidat tandingan para pasangan calon yang sah, mengingat angka golput dari tahun ke tahun dari pemilu ke pemilu terus meningkat secara signifikan. Logikanya, jika angka golput mencapai 20% dari rata rata pemilih di DPT  berjumlah 1.000.000 (satu juta) pemilih, maka angka golput mencapai dua ratus ribu (200.000) pemilih. Dan umumnya jumlah pasangan calon hampir di semua daerah pemilihan minimal berjumlah tiga (3) pasangan calon, maka jika dibagi rata masingmasing pasangan calon memeroleh suara sah kurang lebih dua ratus enem puluh enam ribu enam ratus enam puluh enam (266.666) suara. Dapat dinyatakan bahwa kelompok golput memiliki peran sentral dalam menentukan kesuksesan sebuah penyelenggaran pemilu. Terlebih jika jumlah DPT di suatu daerah pemilihan dibawah angka satu juta (1000.000) pemilih, dipastikan pemilih golput menjadi pesaing utama para pasangan calon.
Faktor dan alasan golput lainnya mungkin berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Himpitan ekonomi dan beban hidup seharihari menjadi alasan kuat lainnya yang melemahkan himbauan agar masyarakat aktif dalam pemungutan suara di TPS, nampak terjadi perlawanan nyata dari masyarakat terhadap kepentingan negara dalam mensukseskan pemilu. Pada konteks ini golput bukan semata gerakan protes terhadap kebijakan pemerintah, tetapi dapat dimaknai sebagai meningkatnya tingkat kecerdasan masyarakat Indonesia dalam berpolitik.
Pada posisi ini, golput mengentitas menjadi gerakan moral yang bersikap alienasi (terasing) karena tidak percaya dengan kebijakan pemerintah, yang dianggap tidak berdampak pada dirinya. Kelompok golput menganggap politik hanyalah sebatas permainan dan perebutan kekuasaan (it’s just political game or power struggle). Potret golput ini tentunya menjadi perhatian yang terus menerus menghantui terlaksananya sistem demokrasi Indonesia, maka perlu ada kebijakan politik yang arif untuk menekan angka golput. Jangan sampai di kemudian hari, kelompok golput memenangkan hasil pemilu karena angka nya melebihi perolehan suara pasangan calon yang sah.
Kebijakan tersebut antara lain menyangkut peran penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu, agar dalam menegakkan peraturan lebih fleksibel dan dinamis, disesuaikan dengan kondisi sosiologis dan geografis masyarakat. Seperti misalnya, memberi ruang gerak kepada pasangan calon yang harus bermalammalam melakukan sosialisasi karena alasan geografis yang sulit ditempuh, dan juga karena alasan kesesuain waktu antara kandidat dengan konstituen.
Angka golput sesungguhnya dapat ditekan secara maksimal jika para kandidat menghindari pola black campaign, dan umumnya yang menjadi sasaran empuk black campaign adalah patahana atau in cumbent.  Patahana atau in cumbent yang mencalonkan diri kembali akan mudah digembosin atau dipojokkan karena kebijakan di masa kepemimpinannya, bahkan tidak jarang dengan alasan-alasan yang terkadang mencederai harga dirinya. Imbasnya kemudian, memengaruhi pilihan masayarakat, satu sisi masyarakat meragukan kembali kepemimpinan patahana, sisi lainnya masyarakat juga ragu dengan kredibilitas calon pemimpin baru diluar patahana.
Simpulan penulis adalah, golput bukan lah kelompok pemilih yang anti kebijkan pemerintah, bahkan pemilih golput pada akhirnya dapat membuka cakrawala politik kita tentang pentingnya prosesproses penyadaran tentang berpolitik yang arif. Sehingga di masa akan datang, khususnya di pilkada serentak berikutnya di tahun 2017, pemilih golput berubah haluan menjadi pemilih aktif di TPS. Jika proses penyadaran nya tidak segera dimulai, maka dikhawatirkan pemilih golput dapat memenangkan pemilihan kepala daerah karena perolehan suaranya yang melebihi perolehan suara sah pasangan calon.
Semoga bermanfaat…

*]Penulis, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Golput Menghantui Pilkada Serentak"

Post a Comment