Menyoal Reklamasi Pantai Utara Kabupaten Tangerang

 Menyoal Reklamasi Pantai  Utara Kabupaten Tangerang
Oleh Budi Usman*)

Seperti Di infokan Tempo.co.id bahwa KPK menangkap oknum anggota DPRD DKI M Sanusi alias Bang Uci terkait kasus korupsi proyek reklamasi Jakarta, selain anggota DPRD DKI, KPK juga menetapkan beberapa pihak swasta yang diduga menyuap anggota DPRD untuk proyek reklamasi.

Pengungkapan kasus ini memiliki pesan bahwa kebijakan publik ternyata dipengaruhi kepentingan korporasi. "KPK sangat prihatin kami ingin menyasar korupsi besar yang melibatkan swasta dan yang penting ini adalah contoh paripurna di mana korporasi mempengaruhi kebijakan publik," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di Gedung KPK, Jl HR Rasuna Said, Jumat (1/4/2016). Menurut Laode, dengan adanya pengungkapan kasus ini, diharapkan para pembuat kebijakan di tingkat DPRD tidak membuat kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi. Laode menegaskan, kebijakan publik harusnya memiliki kepentingan terhadap publik bukan kepentingan satu golongan saja.

Kawasan dan kondisi Pesisir Pantai Utara (Pantura) Kabupaten Tangerang keadaannya memang telah lama memburuk. Di samping kehilangan kemampuannya sebagai agen perlindungan ekosistem pantai, juga tampak tak terurus dan cenderung terabaikan.

Rencana prestisius reklamasi Pantura yang pernah dirilis tahun 1985 pada pemerintahan Presiden Soeharto, awalnya tentu akan memperoleh pujian sebagai perhatian pemerintah atas kondisi areal yang menurut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 merupakan kawasan lindung sempadan pantai.

Dari Konfirmasi kami dengan Pihak Pemerintah selaku regulator mengenai kegiatan Reklamasi Pantai Tangerang yang sudah terjadi sejak 2 Tahun lalu di zonasi pantai Utara Tangerang yakni melalui Pemkab Tangerang Cq Kabid Tata Ruang Ubaedilah dan Pemprov Banten Melalui Kepala Bapeda Banten Hudaya , bahwa kegiatan Reklamasi liar yang sekarang di lakukan adalah melanggar Undang-undang dan Ilegal.

Dari Catatan kami 24/11/2015 bahwa Ratusan nelayan dari Kecamatan Kosambi, Teluknaga,Paku Haji, Kamal dan Muara Angke yang tergabung dalam serikat nelayan tradisional melakukan aksi demo. Mereka menolak reklamasi pantai di wilayah Pesisir Teluk Jakarta dan Tangerang, karena dianggap merugikan nelayan tradisional.

Terlihat puluhan kapal motor yang dikendarai oleh para nelayan mendatangi pulau reklamasi Pantai Dadap sekitar pukul 11.00 WIB siang. Mereka pun langsung melakukan aksi demo dengan cara berkeliling menggunakan kapal tradisional sambil berorasi menolak proyek reklamasi Tangerang hingga Jakarta yang saat ini sedang berlangsung. Sebelum ke lokasi Dadap, mereka terlebih dahulu berkumpul di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kamal Muara.
Ketua Serikat Nelayan Tradisional Aziz Suwandi mengatakan, dengan adanya pembangunan reklamasi pantai Dadap hingga Kamal, para nelayan mulai kesulitan mencari ikan termasuk keluhan itu dirasakan oleh pembudidaya kerang. Karena, pembangunan tersebut secara tidak langsung berdampak terhadap kualitas air yang kini semakin tercemar. “Saya harap pemerintah lebih memperhatikan para nelayan karena setiap harinya mata pencahariannya mengandalkan tangkapan ikan di laut,”katanya saat berorasi di atas kapalnya.

Aziz menambahkan, sudah dua tahun perjuangan nelayan dan masyarakat pesisir melawan kebijakan pemerintah pusat dan daerah, namun sampai sekarang belum menghasilkan apa-apa. Ia menduga pemerintah lebih melindungi pengusaha ketimbang membela nelayan dan masyarakat pesisir yang saat ini mengalami kesulitan dalam mencari ikan. “Sepertinya aparat birokrasi, pemerintah, parlemen tunduk di bawah kuasa kaum modal, bahkan di lapangan ketika rakyat protes tidak ada yang peduli kepadanya,”ungkapnya sambil kesal.

Sementara itu Koordinator aksi Demo Aris mengatakan, Dari dulu hingga sekarang para nelayan tradisional sudah berusaha mediasi sampai melakukan orasi damai. Namun penderitaan dan kesengsaraan nelayan masih terus berkelanjutan bersamaan dengan lalu-lalangnya truk dan kapal pengangkut bahan material siang dan malam yang terus menguruk dan menimbun laut untuk dijadikan tempat wisata. “Adanya pembangunan Reklamasi Pantai hampir semua biota laut terutama rajungan, ikan dan alat tangkap jaring ikan rusak dan hancur,”. Nelayan yang lain juga akan terus melakukan aksi demo sampai dilakukannya pemberhentian pembangunan reklamasi pantai. Nelayan berharap pemerintah harus mencarikan solusi terbaik buat masyarakat pinggiran pantai serta para nelayan tradisional yang saat ini mengalami kesulitan dalam hal menangkap ikan. Sudah satu bulan ini hasil tangkapan kapal nelayan tradisional terus mengalami penurunan, diduga karena air laut yang mulai kotor dan tercemar.

Pemerintah Kabupaten Tangerang berencana mereklamasi pantai seluas 9.000 hektare. Untuk memuluskan rencana tersebut, Tangerang menggandeng pengembang kelas kakap, seperti Salim Group dan PT Agung Sedayu. Reklamasi dibuat untuk bisnis properti. Ke depannya, di sana akan ada kawasan hunian, pusat bisnis dan jasa, kawasan industri, pergudangan, serta pelabuhan dan peti kemas. Rencana reklamasi pantai utara Tangerang dan sekitarnya sudah sekian tahun menjadi kontroversi. Terutama jelas menyangkut manfaat apa yang akan diambil dan efek atau kerugian apa yang mungkin akan terjadi untuk ditanggung bukan saja oleh pihak yang terkait namun juga oleh rakyat terutama warga Tangerang dan sekitarnya.

WALHI tolak Reklamasi

Manager Penanganan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Mukri Friatna menolak rencana reklamasi pantai di sepanjang pesisir utara Tangerang, Banten.Walhi menilai reklamasi bakal mempengaruhi keseimbangan ekologi laut di daerah tersebut. Reklamasi membuat biota bawah air seperti terumbu karang akan mati. Termasuk ikan-ikan yang hidup di sekitar terumbu. Menurut Walhi, kematian biota laut mencederai keadilan ekologi. Sebab, yang berhak hidup bukan hanya manusia, tapi juga makhluk lainnya. Ia menambahkan, jika biota laut mati, pemerintah dan pengembang telah melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan aturan tersebut juga, reklamasi hanya diperbolehkan bila lingkungan terjadi kerusakan karena terkena abrasi. Walhi tak sepakat jika reklamasi dilakukan hanya untuk keperluan bisnis semata. Kalau motifnya bisnis, apakah kepentingan tersebut dalam rangka penyelematan lingkungan.

Apologi Pemkab Tangerang

Data Dinas Tata Ruang Kabupaten Tangerang , Tangerang Internasioal City (TIC) berhak menunjuk sejumlah pengembang untuk bersama-sama membangun Kota Baru Pantura. Kota baru tersebut akan berbentuk tujuh pulau yang terbagi dalam kawasan hunian, pusat bisnis dan jasa, kawasan industri berikut pergudangan hingga pelabuhan dan peti kemas. Luasnya beragam, mulai dari 2000, 2500, sampai dengan 3000 hektar. Adapun pelabuhan dibangun seluas 1500 hektar. Pemerintah Kabupaten Tangerang menggandeng Salim Group dan Agung Sedayu Group dalam megaproyek pembangunan Kota Baru Pantura. Dua pengembang raksasa itu akan membangun kawasan reklamasi seluas 9000 hektare yang nantinya berbentuk pulau-pulau di sepanjang pesisir utara Tangerang dari pantai Dadap, Kosambi, hingga Kronjo. Tangerang Internasional City (Salim Group) sebagai Sedayu yang telah mendapatkan izin. Agung Sedayu juga akan membangun kawasan bisnis dan perumahan di daratan.

Saat ini pengembang properti tersebut telah mendapatkan izin lokasi dan pagar hukum melalui Perda nomor 11 tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Tangerang untuk menggarap kawasan bisnis dan perumahan di Kecamatan Kosambi dan Pakuaji. Pembangunan konsep yang sama akan dilakukan pengembang Agung Sedayu pada lahan reklamasi nantinya.

Pemerintah Kabupaten Tangerang merasa sudah mengklaim sudah mendapatkan izin dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) untuk mereklamasi 9000 hektar di pesisir pantai utara Tangerang. Izin itu dikeluarkan pada 23 September 2010 yang isinya antara lain mengizinkan pembangunan kota baru Tangerang di kawasan pantai utara Tangerang dengan cara mereklamasi laut.

FAKTA
Namun, investor (pengembang) , Bupati Tangerang sebagai kepala pemerintah daerah dan DPRD harus bertanggung jawab terhadap penyelamatan kawasan lindung pantai tampaknya tidak obyektif lagi. Bahkan, dengan cerdas pengembang reklamasi pantai , menggunakan tameng eksekutif-legislatif dan ahli-ahli perguruan tinggi sebagai penyusun konsep “manis” dan studi raperda serta Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang siap membela terdepan pembangunan daratan baru baru tersebut dengan sistim folder tersebut secara “ilmiah”. Padahal sudah sangat jelas bahwa persoalan reklamasi tidak semata-mata berbasis administrasi,tetapi harus berbasis ekosistem. Apalagi wilayah pesisir kabupaten tangerang ditetapkan sebagai green belt sebagaimana tertuang dalam UU nomor 5 tahun 1990 tentang konsep konservasi pantai.

Dalam usaha memanfaatkan tanah atau lahan yang akan direklamasi timbul ada perbedaan-perbedaan pendapat. Ada lahan “tanah” yang sudah dimanfaatkan ketika belum lagi berbentuk “tanah”, melainkan baru sebagai genangan air yang dangkal. Ada pula sebidang tanah timbul yang sudah dimanfaatkan, ketika sifat tanahnya masih belum pantas lagi diolah untuk menjadi tanah pertanian, karena kadar garam tanahnya masih tinggi. Dalam pertumbuhan tanah timbul, okupasi lahan oleh masyarakat belum tentu menunggu sampai benar-benar ada wujud “tanah”. Begitu tanah itu muncul kemudian dimulai pengolahannya menjadi tanah pertanian yang baik, okupasi masyarakat di atas tanah itu biasanya sudah mantap.

Kiranya perlu juga diperhatikan UU No. 51/1960, tentang larangan untuk menggunakan tanah atau muka bumi bagi setiap orang yang tidak memiliki ijin yang sah dari penguasa tanah tersebut. UU No. 5/1960 melarang penggunaan secara liar bagi muka bumi dalam wujud tahapan manapun baik itu masih berwujud tanah yang tergenang air secara berkala, ataupun yang sudah berwujud tanah padat. Dengan adanya UU No. 5/1960 itu, Pemerintah Daerah berwenang mengambil tindakan yang perlu apabila ada pelanggaran-pelanggaran hukum seperti tersebut di atas. Lahan tanah timbul, dalam tahapan yang manapun wujudnya, biasanya ada vegetasinya. Kalau ada yang menebangi pohon-pohon tetapi tidak langsung memanfaatkan tanahnya, orang tersebut dapat juga dituntut sebagai pelanggar hukum berdasarkan UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Apabila sampai terjadi pencemaran ataupun kerusakan lingkungan hidup, tuntutan dapat juga didasarkan UU No. 32/2009.

Hal diatas akan berbeda kalau yang direklamasi itu sepenuhnya laut. Sebab, hak atas tanah hanya berlaku sampai batas pasir pantai. Karenanya, laut tidak dapat dilekati dengan hak atas tanah. Pemegang hak atas laut sampai ke batas yang ditentukan oleh “Konvensi Hukum Laut PBB” yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 17 Tahun 1985 adalah negara. Jadi, seluruh kawasan perairan laut Indonesia dikuasakan kepada Departemen Perhubungan untuk kepentingan pelayaran. Masalah yang dapat timbul adalah bagaimana status tanah yang muncul akibat reklamasi. Selama belum ada ketentuan hukum yang pasti, permasalah itu dapat dipecahkan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tanah positif yang ada.

Kalau diurut tahap-tahap kemunculan tanah baru itu menurut Prof Dr Maria Sumardjono SH MCL MPA dalam bukunya (tahun 2001) tentang kebijakan pertanahan adalah sebagai berikut

Pertama, berbentuk laut yang dikuasai oleh negara. Kedua, direklamasi atas ijin yang diberikan oleh pemerintah dan ijin reklamasi itu dapat diberikan setelah dilakukan AMDAL sesuai dengan PP nomor 51 tahun 1993. Ketiga, muncul tanah baru yang tentunya dikuasai oleh negara, karena ijin reklamasi semata-mata hanya untuk melakukan reklamasi dan tidak untuk menguasai tanah hasil reklamasi. Setelah tanah baru itu jelas wujudnya, barulah masyarakat dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan azas kepatutan, tentu pihak yang mereklamasi yang dapat prioritas pertama untuk memohon hak atas tanah tersebut.

Alih fungsi pantai menjadi daratan kering dengan sebutan “reklamasi” dalam penjelasan perda reklamasi pasal 6 ayat 2 adalah melalui sistem folder yang diintrepetasikan sebagai sistem tata air untuk suatu daerah tersebut permukaan tabah lebih rendah dari permukaan air sekitarnya oleh karena daerah tersebut dilindungi sekelilingnya oleh tanggul dengan menggunakan sistem penataan air,yang menampung air melalui system drainase kedalam satu atau beberapa tanggul,yang kemudian air tersebut dipompakan untuk dibuang kelaut.

Tapi faktanya itu akan terjadi jelas dibangun dengan obsesi keuntungan bisnis. Biaya lima hingga 10 tahun tahun pertama yang disebutkan pengembang kini mungkin berlipat 10 kali pun akan tetap menjadi sangat kecil dibanding harga jual tanah yang akan sangat tinggi dan otoritas pengendalian perkembangan bisnis di daerah daratan baru tersebut yang sangat menguntungkan.

Aspek positif “reklamasi” memang diakui tidak sedikit. Tertatanya kawasan pantai, tersedianya ruang bisnis dan permukiman baru, lapangan kerja yang semarak yang berimplikasi menjadi solusi penangulangan kemiskinan dan pengannguran , ataupun meningkatkan arus investasi yang akan tercipta tentu tidak mudah diperoleh saat ini. Pengembangan ruang wisata baru juga bermanfaat mengurangi arus wisatawan ke kawasan Puncak yang telah sangat padat. Namun, harus pula disadari bahwa aspek negatif yang muncul banyak yang berjangka pendek ataupun dalam jangka panjang. Dalam skala yang sangat besar dan menyakitkan, atau yang tidak terasakan secara langsung, yang akan muncul pada awalnya adalah perubahan pola pasang surut dan pola aliran mati air limpas dari hulu ke hilir yang dipastikan akan memperparah Kuantitas dan kualitas banjir hilir .

Sebagai seorang konservasionis dalam hal pembangunan Kabupaten Tangerang, saya lebih condong memilih langkah moderat. Membangun dengan tidak mengorbankan ekosistem lingkungan serta selalu berusaha meraih keuntungan ekonomis dari suatu upaya pembangunan justru melalui dukungan perbaikan maupun potensi lingkungan. Lantas, bagaimana halnya dengan Pantura ini? Mudah-mudahan Bupati Tangerang dan DPRD ini ikut memahami kekhawatiran terhadap rusak dan hilangnya sumber daya lingkungan pantai yang akan menyengsarakan rakyat kecilnya meskipun menyenangkan segelintir orang yang berkuasa dan kelompok yang berkepentingan.

Reaksi Banten Environment Watch
“Dilihat dari teorinya, rencana pembangunan kota baru ini cukup baik. Sebagai warga kami berharap agar realisasinya dilakukan secepatnya. Jangan berlarut-larut. Mengingat membuat pulau baru membutuhkan waktu yang tidak sedikit,” ujar Cholid Ismail warga Pantura yang juga Direktur Banten Environment Watch.

Saat ini terang Cholid, keseriusan pemerintah Kabupaten Tangerang diuji terkait dengan realisasi dari rencana besar reklamasi. Mengingat, sebelum 2012 lalu, rencana ini sudah digadang-gadang menjadi proyek prestisius. Cholid menilai, apabila terealisasi salah satu keuntungan bagi warga Pantura adalah terbukanya lapangan pekerjaan. Termasuk juga dengan pelaksanaan reklamasi yang bertujuan membuat kota baru akan mendorong perbaikan infrastruktur secara menyeluruh di kawasan Pantura. “Ada dua dampak. Dampak pertama adalah berkembangnya kawasan Pantura dan bertumbuhnya lapangan pekerjaan. Dampak kedua, bisa saja ada ketakutan akan kerusakan lingkungan. Namun saya fikir, selalu ada dampak positif dan negatif dalam pembangunan. Itu dapat dieliminir dengan memaksimalkan sistem dalam pengerjaannya,” papar Cholid.

Masih menurut Cholid, rencana prestisius ini harus dibarengi dengan pemantapan pengawasan dalam pembangunannya. Dengan begitu, dampak-dampak negatif atau penyimpangan yang mungkin terjadi dapat dieliminir. “Setahu saya sudah ada konsorsium yang disiapkan mengurusi rencana ini. Semoga dapat direalisasikan karena proyek ini sudah digadang-gadang sejak beberapa tahun lalu,” ujarnya.


PENUTUP
Pertimbangan ekosistem lingkungan harus dilakukan betul-betul secara berhati-hati. Tidak harus dipaksakan membangun daratan kering seluas-luasnya. Penyediaan konservasi lahan hutan bakau dan hutan pantai (termasuk menanam pepohonan akar dalam di permukiman) justru harus menjadi prioritas perlindungan lingkungan pantai, rehabilitasi kerusakan ekosistem yang dipangsa maupun terkena dampaknya harus dirancang dan dilaksanakan sejak dini. Pemkab Tangerang harus menyiapkan program antisipasi perubahan layanan sosial termasuk menyiapkan pengaturan calon daratan tersebut agar tidak menjadi pemicu konflik horizontal sosial di masyarakat.

Terlepas dari prematurnya sosialisasi reklamasi ke masyarakat, kita berharap segera dapat memeroleh kesungguhan perencanaan komprehensif dengan melibatkan seluruh stakeholder dan pelaksanaan obyektif suatu studi dan kajian hingga implikasi lingkungan, yang benar-benar dapat diandalkan untuk mendasari suatu keputusan penting bagi implementasi pembangunan Kabupaten Tangerang yang integral dalam bingkai kesejahteraan masyarakat. 

Kita berharap Aparat penegak Hukum seperti Kejaksaan dan KPK pun mau turun tangan dan memberi sanksi hukum terhadap oknum pengembang dan koorporat serta pihak Pemerintah yang punya potensi melakukan dugaan pelanggaran pelanggaran hukum dalam skandal Reklamasi ini.

Dengan adanya hikmah dari pengungkapan kasus skandal reklamasi Jakarta oleh KPK ini, diharapkan para pembuat kebijakan Kabupaten Tangerang dan Banten di tingkat DPRD dan Pemda tidak membuat kebijakan yang lebih menguntungkan korporasi, kebijakan publik harusnya memiliki kepentingan terhadap publik bukan kepentingan satu golongan saja. Bisa dibayakan bahwa kebijakan publik diciptakan hanya untuk kepentingan orang tertentu dan segelintir orang demi kepentingan golongan tertentu saja.
Wallahu alam bisawab ***

Oleh : Budi Usman , Warga Yang Peduli konservasi
ratinjau lampiran Budi Usman.jpg

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Menyoal Reklamasi Pantai Utara Kabupaten Tangerang"

Post a Comment