Pendidikan sebagai Obyek Politik





Oleh: Dody Riyadi HS 
TangerangSatu.com - Sebagai bagian dari civil society, masyarakat (ke)warga(an) atau masyarakat madani yang secara intelektual bertanggung jawab terhadap pembangunan manusia Indonesia secara religius, beradab dan berkeadilan sosial, Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Organisasi Daerah Kota Tangerang telah beberapa kali mengadakan diskusi publik mengenai isu-isu strategis. Publikasinya merupakan hak masyarakat termasuk pemerintah.
UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 15 Ayat 1 dan 2 serta Lampiran huruf A tentang Pembagian Urusan Pemerintah Bidang Pendidikan dalam sub Urusan Manajemen Pendidikan yang digugat sekelompok guru dan wali murid dari Surabaya (Idris Apandi, “SMA dan SMK Batal Dikelola Pemerintah Provinsi?” Kompasiana, 13 Juli 2016) telah diperbincangkan ICMI Kota Tangerang pada 3 Juli 2016, di Gading Serpong, Tangerang, narasumber A Amarullah Kepala Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kota Tangerang, Mohammad Suryadi Syarif Direktur Eksekutif Yayasan Pendidikan Budi Mulia Ciledug, dan Irmayanti Nugraha Kepala Sekolah SMAS An-Nurmaniyah Ciledug.

Prestasi Pendidikan Kota Tangerang
Bagi Kota Tangerang sendiri, bila judicial review itu ditolak Mahkamah Konstitusi, berbagai kelebihan pendidikan yang dimiliki SMA/SMK Negeri Kota Tangerang, seperti kuantitas dana yang besar serta fasilitas yang memadai, diragukan akan memperoleh keadilan atau perhatian khusus dari pemerintah provinsi Banten. Prestasi nasional seperti nilai tinggi ujian nasional (UN) serta berbagai prestasi akademik dan nonakademik yang diraih siswa SMA/SMK Kota Tangerang pun musykil bisa dipertahankan apalagi ditingkatkan jika pendidikan menengah disentralisasi Pemprov Banten, baik secara politis maupun administratif, yang mungkin saja tidak demokratis, karena seperti ditegaskan Edward B Fiske (Desentralisasi Pengajaran, Politik Kekuasaan, Jakarta: Grasindo, 1999, hal. 19), bukan cuma kewenangan dalam pengambilan keputusan mengenai pendidikan yang dikuasai para pejabat di tingkat provinsi tetapi juga monopoli amanah dan otoritas dalam perencanaan, pengelolaan, keuangan, dan berbagai aktivitas administratif atau birokratis lainnya.
Kultur sosial politik serta rekam jejak integritas birokrat Pemprov Banten terhadap pendidikan patut dipertanyakan karena belum ada prestasi mumpuni yang secara konsisten dan obyektif diakui publik. Fasilitas publik seperti jalan raya dan jembatan serta akses dan kualitas pendidikan di sekitar pusat pemerintahan, Serang, belum mencerminkan kekuasaan yang memberdayakan rakyat. Sementara Kota Tangerang telah bertahun-tahun menunjukkan empati riil kepada pendidikan yang dirasakan secara sosial dan diakui secara nasional. Anggaran pendidikan dalam APBD hingga 40 persen yang jauh melampaui 20 persen amanat UUD 1945 dan UU Sisdiknas menjadi bukti yang valid.

Pendidikan sebagai Obyek Pilkada
Menggunakan konsep kepemimpinan dalam Islam, aplikasi amanah, tablig, siddiq, fatanah pemprov Banten dalam mengelola pemerintahan, khususnya pendidikan, untuk sekolah negeri dan swasta belum terbukti secara rahmatan lil ‘alamin. Di Banten, Walikota Tangerang kini, Arief R Wismansyah, dan pendahulunya, Wahidin Halim, kendati belum maksimal secara kualitatif, telah berupaya menunjukkan komitmen konkret membangun pendidikan, baik besaran anggaran maupun alokasi dan akuntabilitas penggunaannya dalam penyediaan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kependidikan. Kota Tangerang potensial ditransformasi menjadi kota pendidikan untuk menuntut ilmu bagi warga sekitar Jakarta.
Kepemimpinan yang propendidikan seperti Kota Tangerang sepantasnya berskala provinsi di masa depan, sehingga andaikata uji materi atas undang-undang tentang pengelolaan sekolah menengah itu ditolak MK, maka berbagai capaian signifikan pendidikan yang diraih Kota Tangerang dapat dikontekstualisasikan di Banten, dikolaborasikan dengan beragam prestasi kependidikan dari pemkot dan pemkab di sekitar Banten.
Selain pendidikan, tak ada komoditas atau barang dagangan politik yang lebih seksi bagi semua calon gubernur untuk meraih kekuasaan. Politisasi pendidikan tak cuma kampanye verbal atau akrobat kata-kata terhadap anggaran pendidikan, kesejahteraan finansial dan peningkatan mutu intelektual guru serta sekolah gratis, tetapi juga kooptasi atas institusi pendidikan dan mobilisasi terhadap kepala sekolah dan guru. Setelah terpilih, gubernur akan mengabaikan pendidikan yang memerlukan dana miliaran bahkan triliunan rupiah. Fokus kekuasaan bukan pada pembangunan manusia lewat pendidikan, tetapi pada konsolidasi dan pengembalian dana politik dengan menyalahgunakan jabatan.
Pendidikan membutuhkan investasi dana dan sumber daya manusia berjangka panjang yang hasilnya dinikmati setelah jabatan kepala daerah berakhir. Bagi politisi pragmatis, pendidikan analog dengan menanam dan memanen jagung yang membutuhkan waktu semusim, memperalatnya sebatas jargon politik atau slogan kosong ketika kampanye, menggema saat pilkada lalu lenyap dihembus angin tatkala berkuasa. Hanya pasangan-pasangan calon yang terpuji secara moral dan teruji secara politik serta terbukti riil berpihak kepada pendidikan yang mestinya dikontestasikan partai politik kepada khalayak saat pilgub nanti.
Bila yang terpilih sebagai gubernur adalah sosok yang bergincu tebal atau hanya bisa bersilat lidah, maka bukan hanya sekolah negeri yang bantuan operasional pendidikan, mutu guru, fasilitas, dan prestasi siswanya yang akan stagnan bahkan anjlok, melainkan juga sekolah-sekolah swasta yang selama puluhan tahun menjadi anak tiri di negeri sendiri yang berjuang mandiri tanpa perhatian yang sama layaknya sekolah negeri dari pemerintah. Negara yang mestinya mencerdaskan anak bangsa tanpa diskriminasi telah pilih kasih hanya kepada sekolah berpelat merah.

Sisi Positif Sentralisasi
Pelimpahan wewenang SMA/SMK dari Pemkot/Pemkab ke Pemrov yang banyak mudaratnya bagi daerah yang prestasi pendidikannya baik seperti Kota Tangerang, Bandung dan Surabaya itu sebaliknya justru bermanfaat buat daerah yang reputasi kependidikannya mengecewakan. Asalkan adil dan menghargai pendapatan asli serta nilai-nilai lokal setiap daerah, pengambilalihan otoritas itu menguntungkan pendidikan dalam aspek kualitas guru dan fasilitas pendidikan yang selama ini tidak merata. Guru-guru bermutu di Kota Tangerang, sebagai misal, dapat dipindahtugaskan ke sekolah-sekolah di sekitar Banten untuk membagi kompetensi pedagogik, profesional, personal, dan sosialnya. Fasilitas pendidikan di bawah standar yang dimiliki daerah tertentu di Banten juga dapat ditingkatkan kelayakannya.
Penyediaan akses dan mutu layanan pendidikan yang merengkuh siapa pun, apa pun status dan di mana pun, tegas Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2009-2014 (“Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2016, Menjangkau yang Tidak Terjangkau: Afirmatif-Imperatif”, Gatra No. 27 Tahun XXII 5-11 Mei 2016) merupakan problem utama pendidikan lintas pemerintahan, membutuhkan waktu yang lama, komitmen yang kuat dan konsisten, kerja keras, sistemik, dan berkelanjutan. Semua terletak pada (ke)pemimpin(an) baru Banten dan orang-orang di sekitarnya yang rekam jejak akhlak, genetika dan integritas keluarga, pengalaman pendidikan dan karier akademik, serta kepedulian konsisten politiknya terhadap pendidikan semestinya dijadikan landasan moral partai politik sejak seleksi calon. Calon gubernur idealnya tidak didasarkan pada status sosial, elektabilitas politik, atau kekuatan finansial. Rakyat dan masa depan bangsa mestinya diutamakan di atas interes politik dan ekonomi pribadi, koalisi, dan dinasti. Yang dibangun lewat politik adalah demokratisasi manusia lintas generasi, bukan status quo atau pelanggengan dinasti.
Beberapa dampak kepemimpinan yang korup dan buta pendidikan, di antaranya, pertama, pemaksaan implementasi Kurikulum 13 yang menafikan keragaman nilai-nilai lokal di sekitar Banten, kedua, ketidakmampuan menyinergikan secara bijak pendidikan universal untuk semua dan pendidikan kontekstual yang menghormati berbagai kearifan lokal, ketiga, hijrahnya siswa-siswa cerdas dari Banten ke sekolah-sekolah di Jakarta yang merugikan masa depan sosial, politik, budaya dan ekonomi Banten.

Kembali kepada Pendidikan
Problem krusial pendidikan tak melulu undang-undang atau peraturan yang kerap kontroversial sejak perancangan hingga pengesahan dan implementasinya seperti UU Sisdiknas dan Otonomi Daerah. Anggaran besar pendidikan, nilai tinggi ujian nasional, dan berbagai prestasi kognitif memang perlu dibanggakan. Namun, capaian tersebut adalah kuantitatif yang mudah diukur dan diperdebatkan. Tujuan pendidikan, bila merujuk kepada Ki Hadjar Dewantara, jelas-jelas kualitatif, yakni untuk menyempurnakan budi pekerti, pikiran dan tubuh anak agar mereka mampu hidup selaras dengan dunianya (Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama: Pendidikan, Yogyakarta: Madjelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962, hal. 14).
Budi pekerti, akhlak, etika, moral, atau adab merupakan hakikat atau inti, ruh atau jiwa pendidikan, tetapi kasat mata dalam tindakan apa pun; ia merupakan tujuan, cara, alat, ukuran. Siapa pun, seperti ditegaskan Mochtar Buchori adalah pelaku, subyek sekaligus obyek pendidikan yang saling meneladankan kebaikan dan bertanggung jawab penuh terhadap seluruh potensi anak dan masa depan bangsa, baik secara formal maupun informal (Mochtar Buchori, “Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an; Tinjauan Makro”, dalam Yunahar Ilyas dan Muhammad Azhar (Editor), Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1999), hal. 50).
Penanggung jawab pendidikan, karena itu, siapa saja yang berinteraksi di kehidupan sosial. Pemerintah bertanggung jawab, cerdas, adil, transparan dan akuntabel dalam membuat kebijakan dan mengelola keuangan. Kepala sekolah dan guru meneladankan pelbagai karakter yang baik seperti kejujuran dalam ujian nasional kendati diancam kepala daerah atau kepala dinas pendidikan; tidak kolutif dengan eksekutif, legislatif atau siapa pun dalam memperjualbelikan formulir penerimaan siswa. Orangtua memahami institusi keluarga sebagai pembentuk awal karakter anak, dan kepada guru, orangtua memuliakannya. Civil society seperti media massa dan LSM tak mengintimidasi atau mengeksploitasi institusi pendidikan yang dinilai korup dalam kasus tertentu.
Dunia bukan panggung sandiwara melainkan kehidupan sebenarnya di mana setiap insan, tidak hanya guru dan orangtua, tetapi juga birokrat dan politisi, kaum intelektual dan aktivis sosial, tidak bermain-main dengan lisan, sikap dan tindakannya, karena berimplikasi sangat serius terhadap mental anak dan masa depan bangsa.

Penulis:
Dosen Tetap STIT Ya’mal Tangerang;
Pengurus ICMI Orda Kota Tangerang;
Alumni Ponpes Darunnajah Jakarta,
S-1 UIN Sunan Kalijaga dan S-2 UGM.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendidikan sebagai Obyek Politik"

Post a Comment