Gusuran yang Manusiawi


Oleh: Dody Riyadi HS  

Gusuran berakibat ganda, menguntungkan atau merugikan masyarakat. Ketidakpastian atau kekakuan hukum, ketidakpedulian atau ketakberpihakan negara atau kurangnya soliditas masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta masa depannya adalah beberapa faktor penyebab implikasi negatif gusuran. Sekalipun secara finansial masyarakat diuntungkan tetapi secara sosial mereka justru dirugikan.

Dampak gusuran yang baru-baru ini terjadi dapat dijadikan rujukan agar akibat buruk sosial ekonomi gusuran tak lagi dialami masyarakat lain. Sebagian korban gusuran Waduk Pluit, sebagai misal, harus kehilangan pekerjaan karena Rumah Susun Sederhana yang mereka sewa menjadikan tempat kerja semakin jauh ditempuh sehingga membuat mereka berhenti bekerja. Di tempat baru, korban gusuran sulit mendapatkan pekerjaan karena penduduk asli tak mudah memberikan kepercayaan kepada orang baru (Kompas, 30/11/2015). Korban gusuran mengalami anomi sosial ekonomi di lokasi baru.
Dalam gusuran, warga adalah korban, bukan spekulan keuntungan. Ketercerabutan dari sejarah panjang sosial budaya tak bisa dikompensasikan dengan sebanyak apa pun uang. Kompensasi tak dapat dimaknai secara main-main dengan ganti untung. Kompensasi tetap berarti ganti rugi atas kerugian nonmateril yang dirasakan masyarakat. Sosiolog Universitas Indonesia, Robertus Robert, menegaskan bahwa tiap penggusuran berdampak sangat serius, menimbulkan masalah baru yang begitu kompleks. Kediaman masyarakat tak cuma bernilai ekonomi tetapi berfungsi sosial yang musykil dihargai dengan uang (Kompas, 30/11/2015).
Gusuran bukan pindah rumah atau menempatkan perabot rumah tangga di kediaman baru. Gusuran bermakna meninggalkan sejarah panjang kehidupan dengan penuh kesedihan untuk membangun ulang kehidupan di wilayah baru dengan penuh kesulitan. Di tempat baru, korban gusuran butuh waktu bersosialisasi untuk berintegrasi dengan penduduk setempat. Kendati telah lama tinggal di wilayah baru, mereka masih dianggap sebagai orang pindahan atau pendatang. Kompensasi finansial harus dipahami sebagai modal sosial untuk merekonstruksi kehidupan di tempat baru.
Kendati benda mati, tanah merekam kisah panjang kehidupan sejumlah manusia yang saling berinteraksi membangun kebudayaan di atasnya. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok, Dadang Muhammad Fuad, dengan amat empatik menyatakan bahwa dalam pembebasan lahan terdapat histori unik tempat tinggal, religiusitas atau kehidupan keberagamaan, serta intimitas sosial yang mustahil mampu dinilai tim appraisal/penilai (Koran Tempo, 21/12/2015). Oleh sebab itu, masyarakat, di samping memiliki hak paten atas sejarah kehidupannya dan hak penuh atas tempat tinggalnya juga mempunyai hak asasi atas masa depan yang jauh lebih baik, dan konsekuensinya, negara mau tak mau harus berani menanggung rugi demi kesejahteraan rakyatnya.
Kepentingan umum yang ingin dipahamkan kepada masyarakat bersisian dengan pelbagai kebutuhan esensial masyarakat yang mesti diperhatikan pemerintah. Kemanusiaan, dengan demikian, haruslah menjiwai undang-undang atau peraturan apa pun yang berdalih demi kepentingan umum. Undang-Undang No. 2 tentang Pengadaan Tanah atau PP Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum, sebagai misal, tak dapat dijadikan alat pemaksa oleh tim appraisal dan Angkasa Pura II (AP II) serta pemerintah daerah untuk memaksakan harga tertentu kepada masyarakat. Dalam kasus perluasan Bandara Soekarno-Hatta, prinsip yang mesti digarisbawahi adalah: berapa pun uang yang dibayarkan secara tunai oleh AP II kepada masyarakat pasti akan menguntungkan di kemudian hari; berapa banyak pun kompensasi finansial yang diperoleh masyarakat pasti akan habis bila tak dikelola dengan baik.
Pembebasan lahan demi bangsa dan Merah Putih yang berorientasi ekonomi itu mesti menjaminkan kepastian finansial kepada masyarakat sebagaimana nantinya menjanjikan keuntungan bisnis kepada AP II. Bagi AP II, gusuran merupakan investasi modal bernilai ekonomi tinggi, sedangkan bagi masyarakat, gusuran adalah divestasi identitas sosial berisiko besar. Gusuran oleh AP II kali ini mestinya jauh lebih berbudi buat masyarakat agar karya besar anak bangsa di Bandara Soekarno-Hatta tidak meninggalkan kekecewaan mendalam seperti gusuran sebelumnya atau seperti yang dialami warga Poris Plawad korban pembebasan lahan rel kereta Manggarai-Bandara Soekarno-Hata yang menanggung kerugian keuangan dan hukum sebagai dampak kurangnya sosialisasi dan konsultasi publik, identifikasi dan penilaian harga tanah yang tak transparan, tumpulnya advokasi hukum pemerintah dan wakil rakyat, serta minimnya empati sosial dan intelektual LSM dan perguruan tinggi.
Soal tanah, sebagaimana ditekankan Budi Karya Sumadi, memang selalu seru atau penuh konflik yang berujung pada keharuan mendalam buat masyarakat yang, juga oleh Budi Karya, disebut pinpinbo: pintar pintar bodoh atau pintar tapi sesungguhnya bodoh (Tempo, 20/12/2015). Kata seru dan pinpinbo tak etis diucapkan oleh seorang teknokrat semacam Budi Karya, alumnus UGM yang dididik untuk memiliki empati sosial: berbudi dalam berkarya. Soal etika ini pula yang patut dipertanyakan keberadaannya atas pejabat publik selama proses pengembangan bandara. Sejak sosialisasi pada 5 November 2015, konsultasi publik pertama pada 28 Desember 2015 hingga konsultasi publik kedua pada 13 Januari 2016 tak pernah sekalipun Gubernur Banten, Bupati Tangerang, Ketua DPRD Provinsi Banten dan Kabupaten Tangerang, Dirut AP II, serta pejabat lainnya menghadiri proses-proses itu untuk bersama-sama dengan masyarakat memusyawarahkan pelbagai hal terkait gusuran. Mereka menilai penting reformasi bandara demi negara tetapi tak menghargai rakyat pemilik tanah dan budaya yang berhak bicara kepada siapa saja yang membutuhkan mereka.
Tiga langkah reformasi yang sedang dilaksanakan Budi Karya dalam bentuk peningkatan mutu pelayanan (level of service), penaikan peringkat status (quantum leap), dan perbaikan konektivitas agar Soekarno-Hatta menjadi smile airport di Asia Tenggara (Koran Tempo, 21/12/2015) harus disinkronkan dengan smile society kepada masyarakat sekitar bandara yang terkena pengembangan runway. Sebagai beranda Indonesia, Bandara Soekarno-Hatta memang mesti ditingkatkan kualitas pelayanan, keamanan, keramahan, dan aksesnya. Tentu saja reformasi jangka pendek, menengah, dan panjang itu harus membuat masyarakat yang terkena dampak berbagai perbaikan itu tersenyum karena diperlakukan ramah dan tanah mereka tak dinilai dengan harga murah.
Dalam konteks itulah, pembentukan Tim 21 yang diinisiasi Kepala Desa Rawa Rengas saat konsultasi publik kedua pada 13 Januari 2016 bukan untuk, meminjam bahasa Dirut AP II, menjadi provokator untuk me-mark up harga tanah melebihi nilai jual obyek pajak (Koran Tempo, 21/12/2015). Dasar dan tujuan pembentukan Tim 21 adalah untuk menghidupkan nilai-nilai sosial ketuhanan pada diri pemerintah dan AP II agar perundang-undangan yang diterapkan serta keputusan dan kebijakan yang dibuat memprioritaskan supremasi kemanusiaan, keberpihakan kerakyatan, serta pengarusutamaan keadilan dan keadaban. Semua itu didasarkan pada Ketuhanan yang Maha Esa: internalisasi dan aktualisasi kemahapemurahan Tuhan dalam setiap penerapan hukum, peraturan, keputusan, dan kebijakan yang prososial dan bukan prokapital.
Enam tuntutan masyarakat yang diajukan Tim 21 kepada berbagai pihak dan telah dijawab secara tertulis dan dipresentasikan oleh Tim Persiapan Pengadaan Tanah Perluasan Runway III Bandara Soekarno-Hatta di Hotel Novotel Tangerang pada 27 Januari 2016 hakikatnya tak cuma menuntut ganti rugi uang dan hanya untuk pemilik legal atas tanah dan bangunan, tetapi untuk siapa pun yang telah menjadi bagian masyarakat sekalipun tak memiliki bukti kepemilikan atas bangunan.
Kemanusiaan, sekali lagi, harus ditempatkan di atas perundangan yang aplikasinya secara rigid melahirkan kezaliman sosial yang kompleks. Yang digusur bukan tanah, benda mati yang bisa diperlakukan sesuka hati. Yang digusur adalah manusia-manusia pembentuk masyarakat yang menjadi bagian negara dan mempunyai sejarah panjang kehidupan serta memiliki beragam hak di masa depan.

  • Penulis adalah Pengurus ICMI Orda Kota Tangerang; Ketua STIT Yamal Tangerang 2012-2015; Alumni UIN Sunan Kalijaga dan Pascasarjana UGM




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Gusuran yang Manusiawi"

Post a Comment